Rabu, 27 Februari 2013

Tentang Aku Kau dan Dia (Lanjutan...)


Lamaran Tak Terduga
Aku melirik jam tanganku, pukul 2.30 siang. Itu berarti sudah setengah jam aku menunggu Ka Adry yang tak kunjung datang di perpustakaan kota. Di sampingku duduk Ka Udi yang berbaik hati mau menemaniku menunggu Ka Adry. Jam segini memang jam sepi perpustakaan kota. Kembali aku melirik jam tanganku, jika sepuluh menit lagi dia tidak datang juga aku memutuskan untuk pergi, perutku sudah berdangdutan sekarang. Walaupun aku penasaran setengah mati dengan kabar apa yang akan disampaikan Ka Adry hari ini. Ya, Ka Adry yang memintaku ke sini, katanya dia mempunyai kabar yang penting untuk kudengar. Dan dia menginginkan akulah orang yang pertama mendengar berita ini.
“Huh.” Aku menghela nafas. Sepuluh menit sudah berlalu, habis sudah kesabaranku, aku akan pergi dan mendiamkan cacing-cacing di perutku yang mulai berontak.
“AAAANNNNNIIISSSSAAAAA.”
“Ssssssssssssttttttttt.” Teriakan Ka Adry diiringi oleh ssttt dari beberapa pengunjung yang ada.
Tanpa memperdulikan tatapan pengunjung lain yang mengiringinya, Ka Adry nyengir dengan riang gembiranya saat duduk di hadapanku. Ka Udi refleks menutup wajahnya dengan tangan dan aku mengurut dadaku saat melihat kelakuan sahabatku yang nakal ini. Ckckckck.
“Assalamualaikum.” Ka Adry mengucap salam sambil nyegir.
“Emm.” Jawabku dengan tampang bete.
“Kok salam ku nggak kamu jawab Nisa? Dosa lo.” Kata Ka Ardy masih memasang cengiran tidak bersalahnya. Sejak kejadian di taman dua tahun lalu, kami terbiasa dengan panggilan aku-kamu.
“Waalaikumussallam.” Jawabku jutek.
“Nah, gitu dong kan manis juga kelihatannya.” Ka Adry masih nyegir.
“Maaf ya aku telat, soalnya tadi nganterin Mama beli hadiah dulu Nis.” Kata Ka Adry dengan senyum yang disembunyikan.
“Mama? Hadiah?” Aku bengong.
“Orangtuaku udah mutusin untuk memeluk islam Nisa.” Kali ini Ka Adry benar-benar tersenyum lebar.
Aku tertegun sejenak dan mengucap syukur di dalam hati. Aku menatap lekat-lekat kepada Ka Adry yang terlihat begitu senang. Perjuangannya selama ini ternyata tidak sia-sia. Aku tersenyum mengingat semua yang telah terjadi selama dua tahun ini. Itu bukan perjalanan yang mudah untuk dilalui. Setelah benar-benar yakin dengan keputusannya. Dua bulan setelah Ka Adry menyatakan ingin memeluk islam di taman itu, Ka Adry akhirnya memeluk islam.
Namun sayangnya hal itu tentu saja tidak didukung penuh oleh orang tua Ka Adry. Mereka benar-benar murka melihat Ka Adry yang meninggalkan agama yang telah mereka ajarkan sejak kecil. Mereka lalu mengusir Ka Adry dari rumah. Aku pun tidak luput dari kemarahan orangtua Ka Adry, begitu juga dengan orangtua yang dianggap berperan banyak dalam perpindahan agama Ka Adry. Ka Adry tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Orangtua dan seluruh keluarga besarnya adalah penganut Katolik yang fanatic. Dia dikucilkan dan tidak dianggap sebagai keluarga lagi.
Karena tidak mempunyai tempat tinggal lagi, saat itu Abahku mengajak Ka Adry untuk tinggal bersama kami. Kata abah dia senang bisa membantu sesama muslim. Akhirnya setelah melalui proses paksa memaksa, Ka Adry setuju tinggal bersama keluargaku untuk sementara. Sejak itu Ka Adry bepikir keras untuk mencari pekerjaan. Tentu saja orangtua Ka Adry tidak sudi lagi membiayai anak yang mereka anggap durhaka.
Sekali lagi dengan alasan membantu sesama muslim abah menawarkan pekerjaan untuk Ka Adry di rumah makan yang abah kelola. Rumah makan itu memang tidak terlalu besar namun cukup untuk membiayai hidup kami selama ini. Abah tidak terlalu berharap Ka Adry menerima tawarannya, karena itu hanya pekerjaan menjadi seorang pelayan di rumah kami. Menurut abah, jarang ada anak muda yang mau jadi pelayan di sebuah rumah makan yang kecil pula. Namun tanpa disangka-sangka Ka Adry menerimanya dengan senang hati.
Kehadiran Ka Adry dirumah kami membawa kebahagiaan tersendiri untuk masing-masing anggota keluargaku. Untukku kehadiran Ka Adry sangat membantuku dalam melupakan Fahri, karena saat itu adalah masa-masa yang sulit untukku lepas dari Fahri. Selain itu, Ka Adry selalu membantuku belajar untuk persiapan ujian dan SNMPTN. Dan akhirnya usahaku dengan Ka Adry berbuah manis dengan kelulusanku yang masuk 10 besar sekabupaten dan aku lulus SNMPTN. Sekarang aku kuliah di universitas yang sama dengan Ka Adry.
Pascakelulusanku yang gemilang, Ka Adry memutuskan untuk pindah di salah satu kosan yang dekat dengan kampus. Abah sempat kecewa dengan keputusan Ka Adry ini. Katanya dia tidak keberatan kalau Ka Adry terus tinggal di rumah kami. Begitupun dengan adikku, dia bahagia karena Ka Adry sering menamninya bermain di malam hari. Dengan alasan dia tidak mau merepotkan keluargaku terlalu banyak dan berjanji akan sering berkunjung akhirnya seminggu kemudian Ka Adry pindah ke kosan barunya.
Kamar kosan Ka Adry tidak terlalu besar hanya berukuran 4X4 m. Isinya pun sangat sederhana, hanya sebuah dipan kecil dan lemari yang memang sudah disediakan oleh pemililk kos dan sebuah komputer yang dibelikan abahku untuk Ka Adry. Awalnya Ka Adry menolak pemberian ayah itu namun akhirnya menerimanya dengan janji dia akan membayar komputer itu nanti. Abah hanya tersenyum menanggapi sikap Ka Adry itu.
Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan pun berlalu. Ka Adry telah banyak mempelajari islam. Dia sering ikut abahku pergi ke pegajian-pengajian untuk laki-laki dikampungku. Ka Adry tumbuh menjadi seorang muslim yang benar-benar memberikan hidupnya semata-mata demi Allah. Lidahnya pun kini sudah fasih membaca Al Qur’an. Bahkan kata abah ilmu yang aku miliki kini kalah dengan Ka Adry. Ka Adry menangkap dengan cepat sekali ilmu-ilmu keagamaan.
Kacang lupa dengan kulitnya, kata-kata itu nampaknya tidak berlaku untuk Ka Adry. Dia masih sangat menyayangi orangtuanya. Di tahajudnya setiap malam dia menangis karena kerinduannya yang begitu dalam kepada orangtua yang sangat dikasihinya. Hampir setiap hari Ka Adry mendatangi rumah orangtua Ka Adry yang telah tertutup untuknya. Dia hanya memandangi rumah itu dari jauh setelah beberapa kali mencoba mengetuk pintu rumah itu dan langsung diusir oleh orangtuanya.
Ka Adry tidak pernah marah oleh perlakuan orangtuanya yang seperti tidak pernah menganggapnya sebagai anak. Di hari lebaran pun Ka Adry mengunjungi rumah orangtuanya sekedar untuk meminta maaf lahir dan batin. Namun lagi-lagi dia diusir oleh orangtuanya. Ka Adry terus berdoa kepada Allah agar orangtuanya mau menerimanya sebagai anak kembali. Dia juga berdoa orangtuanya juga mau memeluk islam seperti dirinya. Dan akhirnya…
“Annisa, kok kamu nangis sih?” Tanya Ka Adry khawatir.
Aku menggeleng sambil menghapus air mataku.
“Aku cuma terharu aja. Ini tangisan bahagia kok Kak. Selamat ya.” Kataku sambil tersenyum manis.
***
                Sepulangnya dari perpustakaan kota, Ka Adry mengajakku makan pempek di warung kesukaanku. Tentu saja aku tidak menolak tawaran yang menggiurkan itu. Berbeda denganku yang sangat bersemangat dalam melahap pempek yang memang perlu diacungkan empat jempol ini, Ka Adry nampaknya tidak selera makan. Aneh, padahal dia yang mengajakku ke sini, kenapa jadi dia yang tidak semangat?
                “Kok, makannya nggak semangat sih?” Tanyaku pada Ka Adry yang malahan sekarang terlihat seperti melamun.
                “Nggak bawa dompet ya?” Tanyaku asal.
                “Huaaahahahahahahahahaahahah. Ngaco kamu.” Tawa Ka Adry meledak.
                “Terus?”
                “Aku mau melamar kamu, Annisa.”
                Apa? Melamar? MELAMAR? Aku histeris, dalam hati tentu saja.
                Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Takjub. Bingung. Heran. Aneh. Mau pingsan. Lapar. Kepedesan. Berbagai macam perasaan bercapur aduk di hatiku. Aku harus jawab apa ini?
                “Aku serius Nisa. Aku benar-benar mau melamar kamu. Aku ingin menjadikan kamu sebagai seseorang yang halal untukku. Aku ingin menjadikanmu sebagai ibu dari anak-anakku dan nenek dari cucu-cucuku nantinya. Aku ingin memilikimu seutuhnya Yuriannisa.”
                “Aku boleh pingsan nggak?”
                “Apa?”
                “haha. Lucu aja kalau ada orang pingsan gara-gara dilamar saking bahagianya.”
                “Jadi kamu bahagia saat aku lamar. Berarti, kamu…”
                “emm.” Aku mengangguk sambil tersenyum lebar sekali.
                Entah kenapa aku merasa sangat bahagia saat mendengar lamaran Ka Adry untukku. Jantungku serasa mau melompat keluar saat mendengar kata-kata Ka Adry yang bagai alunan musik terindah di dunia. Mungkin, tanpa kusadari kata-kata-kata itulah yang selama ini kutunggu-tunggu dari Ka Adry. Seseorang yang telah berhasil mencuri hatiku. Seseorang yang dapat membuatku lupa dengan seseorang yang dulunya juga berhasil mencuri hatiku.
                Sebenarnya aku sangat ingin pulang ke rumah selepas sesi lamaran yang masih membuat jantungku seperti sedang main lompat tali. Aku sudah tidak sabar memberitahukan ini semua kepada Abah dan Mama, mereka pasti sangat senang mendengarnya. Tapi harapan itu pupus begitu saja setelah menyadari aku mempunyai jadwal kuliah malam hari ini. hhhh
                Aku baru tiba di rumah selepas isya. Badanku serasa remuk dan otakku serasa panas karena terlalu banyak dijejali rumus-rumus. Beginilah resiko sebagai mahasiswa Teknik Kimia. Namun entah mengapa hatiku tetap merasa dunia bagaikan di surga. Mungkin itu karena lamaran Ka Adry yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di benakku. Karena saking tidak sabarnya memberitahukan semuanya kepada kedua orangtuaku, aku pun berlari menghambur pintu depan rumahku yang terbuka.
                “Assalamualaik…….kum.” Langkahku terhenti melihat sosok yang selama dua tahun terakhir ini berusaha aku lupakan.
                “Waalaikumussallam.” Jawab Abah dan Fahri hampir bersamaan.
                “Sini, Nis! Duduk di samping Abah.” Abah menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
                Aku pun mengangguk sambil berjalan menuju kursi yang dimaksud Abah. Mamaku yang mendengar akan kedatanganku segera berlari dari dapur dan duduk di sebelahku. Kini posisiku diantara Abah dan Mamaku. Aku melihat ke arah Fahri sejenak dan menemuinya tengah menunduk dan menggosok-gosokan tangan. Fahri nampak gugup.
                “Sebenarnya ini ada apa, Bah? Ma?” Tanyaku kepada Abah dan Mama yang saling pandang.
                Abah tersenyum dan berkata, “Sebaiknya Nak Fahri saja yang bilang langsung. Silakan Nak Fahri.” Abah memandang ke arah Fahri yang masih menunduk.
                “Em, gini Nisa. Sebelumnya Abi minta maaf sama Annisa kalau selama dua tahun ini Abi menghilang tanpa kabar.” Fahri mulai.
                Aku tersentak saat mendengar Fahri masih memakai kata “Abi” untuk menyebut dirinya. Ada sedikit rasa senang di hatiku saat itu, apalagi menyadari tatapan Fahri masih seperti dulu kepadaku. Tatapan sayang yang sejak dua tahun lalu sangat aku rindu dan nantikan. Selama dua tahun ini kami berdua memang tidak pernah bertemu. Entah mengapa, Fahri menghilang bak ditelan bumi.
                “Emang Abi kemana aja sih? Annisa sampai nanya sama Ibunya Abi loh tapi beliau kekeuh gak mau ngasih tau.” Kataku jujur.
                “Abi ada kok…” Fahri tersenyum dan melanjutkan perkataannya setelah menarik nafas sejenak. Dari nafasnya saja aku bisa menebak dia sedang gugup. Tapi gugup akan apa?
                “Annisa, hari ini Abi mau menepati janji Abi…” Fahri berhenti bicara dan itu membuatku gugup campur penasaran.
                “Ja..janji?” Tanyaku.
                Fahri mengeluarkan kotak beledru kecil berwarna merah. Dia lalu membukanya perlahan dan nampaklah sebuah cincin perak yang mewah dengan permata-permata kecil yang tersusun rapi ditengahnya.
                “Aku ingin meminangmu Yuriannisa. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku dunia akhirat Yuriannisa. Insyaallah aku akan menjadi imam yang baik untukmu.” Kata Fahri sambil tersenyum.
                Aku menunduk, tidak berani menatap mata Fahri. Aku memang mengharapkan lamaran Fahri seperti sekarang ini sejak dulu. Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang Fahri datang untuk meminangku? Kenapa dia meminangku setelah aku menerima pinangan dari Ka Adry. Apa yang harus aku lakukan? Sampai detik ini ternyata aku masih mencintai Fahri namun aku sangat menyayangi Ka Adry. Aku ingin memiliki Fahri tapi aku tidak mau kehilangan Ka Adry. Tanpa bisa kucegah, air mataku turun membasahi pipiku.
                Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku. Pertama-tama aku melihat ke arah Mama yang tersenyum namun senyum itu tiba-tiba menghilang setelah dilihatnya air mataku, begitupula dengan Abah. Aku kembali menunduk karena takut turunnya air mataku akan menyakiti hati Fahri.
                “Annisa. Kenapa Nak?” Tanya Abah untuk menenangkanku namun tidak berhasil.
                “Nisa, kamu kenapa menangis sayang? Kamu terharu ya? Bagaimana apakah Nisa mau menerima lamaran Nak Fahri?” Tanya Mama lembut sambil mengelus-elus kepalaku.
                “An..Annisa ng..Nggak bi.. Nggak bisa jawab sekarang Bi.” Kataku terbata-bata sambil menunduk dalam.
                “Abi ngerti kok Annisa, mungkin ini semua terlalu mengejutkan ya? Abi minta maaf ya kalau bikin Annisa terkejut. Abi juga nggak mau membebani Annisa dengan pinangan Abi ini, Annisa boleh jawab kapan aja kok. Mungkin Annisa mau sholat istikaharah dulu.” Senyum Abi masih bertahan di bibir tipisnya. Dia lalu menutup kotak beledru merah itu dan meletakkannya di kantong celananya.
                Aku hanya bisa mengangguk.
                “Ya udah, Annisa, Bapak, Ibu, Fahri pulang dulu ya. Tidak baik bertamu selarut ini. Maaf merepotkan.” Kata Fahri berpamitan. Dia lalu menyalami tangan orangtuaku.
                Sebelum Fahri pulang Abah menahan Fahri untuk berbicara empat mata di beranda rumah. Sebenarnya bisa dikatakan jiwa mudaku sangatlah penasaran dengan pembicaraan antara Abah dan Fahri, namun entah mengapa aku merasa sangat lelah. Aku memilih untuk langsung masuk ke kamarku dan meninggalkan Mama yang nampaknya berusaha keras untuk tidak banyak bertanya kepadaku. Mungkin, Abah dan Mama sudah sepakat untuk tidak terlalu mencampuri urusan percintaanku. Aku bersyukur mempunyai orangtua yang sangat pengertian seperti mereka.
                Sendiri. Sendiri ku diam. Diam dan merenung. Merenungkan jalan mana yang harus kupilih. Aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur tanpa bisa tertidur. Padahal seharusnya dengan kegiatanku yang melelahkan seharian ini dapat membuatku langsung tertidur setelah meletakkan kepalaku di atas bantal. Di luar dugaan, mataku masih nyalang dan enggan untuk menutup barang sejenak. Fahri dan Ka Adry secara acak hilir mudik dipikiranku. Aku baru menyadari kalau selama ini aku sangat menyayangi dua orang laki-laki itu. Aku tidak ingin menyakiti salah satu dari mereka. Bahkan aku ingin memiliki mereka berdua. Manusia memang serakah.
                Fahri adalah seorang calon suami yang ideal. Wajahnya yang tampan sebanding dengan perilakunya yang juga tampan. Fahri memang dikenal sebagai laki-laki baik yang taat agama. Wajahnya bersinar dengan cahaya islami. Dia juga memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dan Ka Adry adalah seorang laki-laki yang sekarang adalah seorang mualaf. Dalam dua tahun ini dia menjelma menjadi seorang muslim yang dapat diacungi jempol. Ilmu agamanya bahkan sudah melebihi kebanyakan orang yang dilahirkan sebagai seorang muslim sejak lahir. Dia tipe laki-laki pekerja keras dan bertanggung jawab.
                Haruskah aku melukai salah satu dari dua laki-laki yang mendekati sempurna itu. Aku memcintai mereka berdua. Aku menyayangi mereka berdua. Begitu juga mereka. Mereka berdua sama-sama mencintai dan menyayangiku. Jadi, haruskah aku memberikan goresan luka yang menyakitkan pada hati seseorang yang benar-benar menginginkan aku sebagai istrinya? Haruskah aku memilih? Tak adakah dispensasi untuk kami bertiga agar kami bisa bersatu dan bahagia. Apakah cinta memang selalu harus memilih? Apakah cinta memang selalu harus menciptakan tangis pada akhir kisahnya? Apakah cinta memang selalu menjadi salah satu peran antagonis dalam panggung kehidupan?[]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar