Lamaran Tak
Terduga
Aku melirik jam tanganku, pukul 2.30 siang. Itu berarti sudah setengah
jam aku menunggu Ka Adry yang tak kunjung datang di perpustakaan kota. Di
sampingku duduk Ka Udi yang berbaik hati mau menemaniku menunggu Ka Adry. Jam
segini memang jam sepi perpustakaan kota. Kembali aku melirik jam tanganku,
jika sepuluh menit lagi dia tidak datang juga aku memutuskan untuk pergi, perutku
sudah berdangdutan sekarang. Walaupun aku penasaran setengah mati dengan kabar
apa yang akan disampaikan Ka Adry hari ini. Ya, Ka Adry yang memintaku ke sini,
katanya dia mempunyai kabar yang penting untuk kudengar. Dan dia menginginkan
akulah orang yang pertama mendengar berita ini.
“Huh.” Aku menghela nafas. Sepuluh menit sudah berlalu, habis sudah
kesabaranku, aku akan pergi dan mendiamkan cacing-cacing di perutku yang mulai
berontak.
“AAAANNNNNIIISSSSAAAAA.”
“Ssssssssssssttttttttt.” Teriakan Ka Adry diiringi oleh ssttt dari
beberapa pengunjung yang ada.
Tanpa memperdulikan tatapan pengunjung lain yang mengiringinya, Ka Adry
nyengir dengan riang gembiranya saat duduk di hadapanku. Ka Udi refleks menutup
wajahnya dengan tangan dan aku mengurut dadaku saat melihat kelakuan sahabatku
yang nakal ini. Ckckckck.
“Assalamualaikum.” Ka Adry mengucap salam sambil nyegir.
“Emm.” Jawabku dengan tampang bete.
“Kok salam ku nggak kamu jawab Nisa? Dosa lo.” Kata Ka Ardy masih
memasang cengiran tidak bersalahnya. Sejak kejadian di taman dua tahun lalu,
kami terbiasa dengan panggilan aku-kamu.
“Waalaikumussallam.” Jawabku jutek.
“Nah, gitu dong kan manis juga kelihatannya.” Ka Adry masih nyegir.
“Maaf ya aku telat, soalnya tadi nganterin Mama beli hadiah dulu Nis.”
Kata Ka Adry dengan senyum yang disembunyikan.
“Mama? Hadiah?” Aku bengong.
“Orangtuaku udah mutusin untuk memeluk islam Nisa.” Kali ini Ka Adry
benar-benar tersenyum lebar.
Aku tertegun sejenak dan mengucap syukur di dalam hati. Aku menatap
lekat-lekat kepada Ka Adry yang terlihat begitu senang. Perjuangannya selama
ini ternyata tidak sia-sia. Aku tersenyum mengingat semua yang telah terjadi
selama dua tahun ini. Itu bukan perjalanan yang mudah untuk dilalui. Setelah
benar-benar yakin dengan keputusannya. Dua bulan setelah Ka Adry menyatakan
ingin memeluk islam di taman itu, Ka Adry akhirnya memeluk islam.
Namun sayangnya hal itu tentu saja tidak didukung penuh oleh orang tua Ka
Adry. Mereka benar-benar murka melihat Ka Adry yang meninggalkan agama yang
telah mereka ajarkan sejak kecil. Mereka lalu mengusir Ka Adry dari rumah. Aku
pun tidak luput dari kemarahan orangtua Ka Adry, begitu juga dengan orangtua
yang dianggap berperan banyak dalam perpindahan agama Ka Adry. Ka Adry tidak
mempunyai siapa-siapa lagi. Orangtua dan seluruh keluarga besarnya adalah
penganut Katolik yang fanatic. Dia dikucilkan dan tidak dianggap sebagai
keluarga lagi.
Karena tidak mempunyai tempat tinggal lagi, saat itu Abahku mengajak Ka
Adry untuk tinggal bersama kami. Kata abah dia senang bisa membantu sesama
muslim. Akhirnya setelah melalui proses paksa memaksa, Ka Adry setuju tinggal
bersama keluargaku untuk sementara. Sejak itu Ka Adry bepikir keras untuk
mencari pekerjaan. Tentu saja orangtua Ka Adry tidak sudi lagi membiayai anak
yang mereka anggap durhaka.
Sekali lagi dengan alasan membantu sesama muslim abah menawarkan
pekerjaan untuk Ka Adry di rumah makan yang abah kelola. Rumah makan itu memang
tidak terlalu besar namun cukup untuk membiayai hidup kami selama ini. Abah
tidak terlalu berharap Ka Adry menerima tawarannya, karena itu hanya pekerjaan
menjadi seorang pelayan di rumah kami. Menurut abah, jarang ada anak muda yang
mau jadi pelayan di sebuah rumah makan yang kecil pula. Namun tanpa
disangka-sangka Ka Adry menerimanya dengan senang hati.
Kehadiran Ka Adry dirumah kami membawa kebahagiaan tersendiri untuk
masing-masing anggota keluargaku. Untukku kehadiran Ka Adry sangat membantuku
dalam melupakan Fahri, karena saat itu adalah masa-masa yang sulit untukku
lepas dari Fahri. Selain itu, Ka Adry selalu membantuku belajar untuk persiapan
ujian dan SNMPTN. Dan akhirnya usahaku dengan Ka Adry berbuah manis dengan
kelulusanku yang masuk 10 besar sekabupaten dan aku lulus SNMPTN. Sekarang aku
kuliah di universitas yang sama dengan Ka Adry.
Pascakelulusanku yang gemilang, Ka Adry memutuskan untuk pindah di salah
satu kosan yang dekat dengan kampus. Abah sempat kecewa dengan keputusan Ka
Adry ini. Katanya dia tidak keberatan kalau Ka Adry terus tinggal di rumah
kami. Begitupun dengan adikku, dia bahagia karena Ka Adry sering menamninya
bermain di malam hari. Dengan alasan dia tidak mau merepotkan keluargaku
terlalu banyak dan berjanji akan sering berkunjung akhirnya seminggu kemudian
Ka Adry pindah ke kosan barunya.
Kamar kosan Ka Adry tidak terlalu besar hanya berukuran 4X4 m. Isinya pun
sangat sederhana, hanya sebuah dipan kecil dan lemari yang memang sudah
disediakan oleh pemililk kos dan sebuah komputer yang dibelikan abahku untuk Ka
Adry. Awalnya Ka Adry menolak pemberian ayah itu namun akhirnya menerimanya dengan
janji dia akan membayar komputer itu nanti. Abah hanya tersenyum menanggapi
sikap Ka Adry itu.
Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan pun berlalu. Ka Adry
telah banyak mempelajari islam. Dia sering ikut abahku pergi ke pegajian-pengajian
untuk laki-laki dikampungku. Ka Adry tumbuh menjadi seorang muslim yang
benar-benar memberikan hidupnya semata-mata demi Allah. Lidahnya pun kini sudah
fasih membaca Al Qur’an. Bahkan kata abah ilmu yang aku miliki kini kalah
dengan Ka Adry. Ka Adry menangkap dengan cepat sekali ilmu-ilmu keagamaan.
Kacang lupa dengan kulitnya, kata-kata itu nampaknya tidak berlaku untuk
Ka Adry. Dia masih sangat menyayangi orangtuanya. Di tahajudnya setiap malam
dia menangis karena kerinduannya yang begitu dalam kepada orangtua yang sangat
dikasihinya. Hampir setiap hari Ka Adry mendatangi rumah orangtua Ka Adry yang
telah tertutup untuknya. Dia hanya memandangi rumah itu dari jauh setelah
beberapa kali mencoba mengetuk pintu rumah itu dan langsung diusir oleh orangtuanya.
Ka Adry tidak pernah marah oleh perlakuan orangtuanya yang seperti tidak
pernah menganggapnya sebagai anak. Di hari lebaran pun Ka Adry mengunjungi
rumah orangtuanya sekedar untuk meminta maaf lahir dan batin. Namun lagi-lagi
dia diusir oleh orangtuanya. Ka Adry terus berdoa kepada Allah agar orangtuanya
mau menerimanya sebagai anak kembali. Dia juga berdoa orangtuanya juga mau
memeluk islam seperti dirinya. Dan akhirnya…
“Annisa, kok kamu nangis sih?” Tanya Ka Adry khawatir.
Aku menggeleng sambil menghapus air mataku.
“Aku cuma terharu aja. Ini tangisan bahagia kok Kak. Selamat ya.” Kataku
sambil tersenyum manis.
***
Sepulangnya dari perpustakaan
kota, Ka Adry mengajakku makan pempek di warung kesukaanku. Tentu saja aku
tidak menolak tawaran yang menggiurkan itu. Berbeda denganku yang sangat
bersemangat dalam melahap pempek yang memang perlu diacungkan empat jempol ini,
Ka Adry nampaknya tidak selera makan. Aneh, padahal dia yang mengajakku ke
sini, kenapa jadi dia yang tidak semangat?
“Kok, makannya nggak semangat
sih?” Tanyaku pada Ka Adry yang malahan sekarang terlihat seperti melamun.
“Nggak bawa dompet ya?” Tanyaku
asal.
“Huaaahahahahahahahahaahahah.
Ngaco kamu.” Tawa Ka Adry meledak.
“Terus?”
“Aku mau melamar kamu, Annisa.”
Apa? Melamar? MELAMAR? Aku
histeris, dalam hati tentu saja.
Aku benar-benar tidak bisa
berkata apa-apa. Takjub. Bingung. Heran. Aneh. Mau pingsan. Lapar. Kepedesan.
Berbagai macam perasaan bercapur aduk di hatiku. Aku harus jawab apa ini?
“Aku serius Nisa. Aku benar-benar
mau melamar kamu. Aku ingin menjadikan kamu sebagai seseorang yang halal
untukku. Aku ingin menjadikanmu sebagai ibu dari anak-anakku dan nenek dari
cucu-cucuku nantinya. Aku ingin memilikimu seutuhnya Yuriannisa.”
“Aku boleh pingsan nggak?”
“Apa?”
“haha. Lucu aja kalau ada orang
pingsan gara-gara dilamar saking bahagianya.”
“Jadi kamu bahagia saat aku
lamar. Berarti, kamu…”
“emm.” Aku mengangguk sambil
tersenyum lebar sekali.
Entah kenapa aku merasa sangat
bahagia saat mendengar lamaran Ka Adry untukku. Jantungku serasa mau melompat
keluar saat mendengar kata-kata Ka Adry yang bagai alunan musik terindah di
dunia. Mungkin, tanpa kusadari kata-kata-kata itulah yang selama ini kutunggu-tunggu
dari Ka Adry. Seseorang yang telah berhasil mencuri hatiku. Seseorang yang
dapat membuatku lupa dengan seseorang yang dulunya juga berhasil mencuri
hatiku.
Sebenarnya aku sangat ingin
pulang ke rumah selepas sesi lamaran yang masih membuat jantungku seperti
sedang main lompat tali. Aku sudah tidak sabar memberitahukan ini semua kepada
Abah dan Mama, mereka pasti sangat senang mendengarnya. Tapi harapan itu pupus
begitu saja setelah menyadari aku mempunyai jadwal kuliah malam hari ini. hhhh
Aku baru tiba di rumah selepas
isya. Badanku serasa remuk dan otakku serasa panas karena terlalu banyak
dijejali rumus-rumus. Beginilah resiko sebagai mahasiswa Teknik Kimia. Namun
entah mengapa hatiku tetap merasa dunia bagaikan di surga. Mungkin itu karena
lamaran Ka Adry yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di benakku. Karena
saking tidak sabarnya memberitahukan semuanya kepada kedua orangtuaku, aku pun
berlari menghambur pintu depan rumahku yang terbuka.
“Assalamualaik…….kum.” Langkahku
terhenti melihat sosok yang selama dua tahun terakhir ini berusaha aku lupakan.
“Waalaikumussallam.” Jawab Abah
dan Fahri hampir bersamaan.
“Sini, Nis! Duduk di samping
Abah.” Abah menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
Aku pun mengangguk sambil
berjalan menuju kursi yang dimaksud Abah. Mamaku yang mendengar akan
kedatanganku segera berlari dari dapur dan duduk di sebelahku. Kini posisiku
diantara Abah dan Mamaku. Aku melihat ke arah Fahri sejenak dan menemuinya
tengah menunduk dan menggosok-gosokan tangan. Fahri nampak gugup.
“Sebenarnya ini ada apa, Bah?
Ma?” Tanyaku kepada Abah dan Mama yang saling pandang.
Abah tersenyum dan berkata,
“Sebaiknya Nak Fahri saja yang bilang langsung. Silakan Nak Fahri.” Abah
memandang ke arah Fahri yang masih menunduk.
“Em, gini Nisa. Sebelumnya Abi
minta maaf sama Annisa kalau selama dua tahun ini Abi menghilang tanpa kabar.”
Fahri mulai.
Aku tersentak saat mendengar
Fahri masih memakai kata “Abi” untuk menyebut dirinya. Ada sedikit rasa senang
di hatiku saat itu, apalagi menyadari tatapan Fahri masih seperti dulu
kepadaku. Tatapan sayang yang sejak dua tahun lalu sangat aku rindu dan
nantikan. Selama dua tahun ini kami berdua memang tidak pernah bertemu. Entah
mengapa, Fahri menghilang bak ditelan bumi.
“Emang Abi kemana aja sih?
Annisa sampai nanya sama Ibunya Abi loh tapi beliau kekeuh gak mau ngasih tau.”
Kataku jujur.
“Abi ada kok…” Fahri tersenyum
dan melanjutkan perkataannya setelah menarik nafas sejenak. Dari nafasnya saja
aku bisa menebak dia sedang gugup. Tapi gugup akan apa?
“Annisa, hari ini Abi mau
menepati janji Abi…” Fahri berhenti bicara dan itu membuatku gugup campur
penasaran.
“Ja..janji?” Tanyaku.
Fahri mengeluarkan kotak beledru
kecil berwarna merah. Dia lalu membukanya perlahan dan nampaklah sebuah cincin
perak yang mewah dengan permata-permata kecil yang tersusun rapi ditengahnya.
“Aku ingin meminangmu
Yuriannisa. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku dunia akhirat Yuriannisa.
Insyaallah aku akan menjadi imam yang baik untukmu.” Kata Fahri sambil tersenyum.
Aku menunduk, tidak berani
menatap mata Fahri. Aku memang mengharapkan lamaran Fahri seperti sekarang ini
sejak dulu. Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang Fahri datang untuk
meminangku? Kenapa dia meminangku setelah aku menerima pinangan dari Ka Adry. Apa
yang harus aku lakukan? Sampai detik ini ternyata aku masih mencintai Fahri
namun aku sangat menyayangi Ka Adry. Aku ingin memiliki Fahri tapi aku tidak
mau kehilangan Ka Adry. Tanpa bisa kucegah, air mataku turun membasahi pipiku.
Aku memberanikan diri untuk
mengangkat kepalaku. Pertama-tama aku melihat ke arah Mama yang tersenyum namun
senyum itu tiba-tiba menghilang setelah dilihatnya air mataku, begitupula
dengan Abah. Aku kembali menunduk karena takut turunnya air mataku akan menyakiti
hati Fahri.
“Annisa. Kenapa Nak?” Tanya Abah
untuk menenangkanku namun tidak berhasil.
“Nisa, kamu kenapa menangis
sayang? Kamu terharu ya? Bagaimana apakah Nisa mau menerima lamaran Nak Fahri?”
Tanya Mama lembut sambil mengelus-elus kepalaku.
“An..Annisa ng..Nggak bi.. Nggak
bisa jawab sekarang Bi.” Kataku terbata-bata sambil menunduk dalam.
“Abi ngerti kok Annisa, mungkin
ini semua terlalu mengejutkan ya? Abi minta maaf ya kalau bikin Annisa
terkejut. Abi juga nggak mau membebani Annisa dengan pinangan Abi ini, Annisa
boleh jawab kapan aja kok. Mungkin Annisa mau sholat istikaharah dulu.” Senyum
Abi masih bertahan di bibir tipisnya. Dia lalu menutup kotak beledru merah itu
dan meletakkannya di kantong celananya.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Ya udah, Annisa, Bapak, Ibu,
Fahri pulang dulu ya. Tidak baik bertamu selarut ini. Maaf merepotkan.” Kata
Fahri berpamitan. Dia lalu menyalami tangan orangtuaku.
Sebelum Fahri pulang Abah
menahan Fahri untuk berbicara empat mata di beranda rumah. Sebenarnya bisa
dikatakan jiwa mudaku sangatlah penasaran dengan pembicaraan antara Abah dan
Fahri, namun entah mengapa aku merasa sangat lelah. Aku memilih untuk langsung
masuk ke kamarku dan meninggalkan Mama yang nampaknya berusaha keras untuk
tidak banyak bertanya kepadaku. Mungkin, Abah dan Mama sudah sepakat untuk
tidak terlalu mencampuri urusan percintaanku. Aku bersyukur mempunyai orangtua
yang sangat pengertian seperti mereka.
Sendiri. Sendiri ku diam. Diam
dan merenung. Merenungkan jalan mana yang harus kupilih. Aku hanya bisa
berbaring di atas tempat tidur tanpa bisa tertidur. Padahal seharusnya dengan
kegiatanku yang melelahkan seharian ini dapat membuatku langsung tertidur
setelah meletakkan kepalaku di atas bantal. Di luar dugaan, mataku masih
nyalang dan enggan untuk menutup barang sejenak. Fahri dan Ka Adry secara acak
hilir mudik dipikiranku. Aku baru menyadari kalau selama ini aku sangat
menyayangi dua orang laki-laki itu. Aku tidak ingin menyakiti salah satu dari
mereka. Bahkan aku ingin memiliki mereka berdua. Manusia memang serakah.
Fahri adalah seorang calon suami
yang ideal. Wajahnya yang tampan sebanding dengan perilakunya yang juga tampan.
Fahri memang dikenal sebagai laki-laki baik yang taat agama. Wajahnya bersinar
dengan cahaya islami. Dia juga memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dan Ka
Adry adalah seorang laki-laki yang sekarang adalah seorang mualaf. Dalam dua
tahun ini dia menjelma menjadi seorang muslim yang dapat diacungi jempol. Ilmu
agamanya bahkan sudah melebihi kebanyakan orang yang dilahirkan sebagai seorang
muslim sejak lahir. Dia tipe laki-laki pekerja keras dan bertanggung jawab.
Haruskah aku melukai salah satu
dari dua laki-laki yang mendekati sempurna itu. Aku memcintai mereka berdua.
Aku menyayangi mereka berdua. Begitu juga mereka. Mereka berdua sama-sama
mencintai dan menyayangiku. Jadi, haruskah aku memberikan goresan luka yang
menyakitkan pada hati seseorang yang benar-benar menginginkan aku sebagai
istrinya? Haruskah aku memilih? Tak adakah dispensasi untuk kami bertiga agar
kami bisa bersatu dan bahagia. Apakah cinta memang selalu harus memilih? Apakah
cinta memang selalu harus menciptakan tangis pada akhir kisahnya? Apakah cinta
memang selalu menjadi salah satu peran antagonis dalam panggung kehidupan?[]
