Minggu, 27 Januari 2013

Tentang Aku Kau dan Dia


Sore Kelabu
“Gimana kalo kita jalan masing-masing?” satu kalimat ajaib itu berhasil membuatku tak dapat mengeluarkan satu kata pun.
Awalnya aku mengira sore hari ini akan berjalan menyenangkan. Berjalan-jalan di taman berdua bersama kekasihku, Abi. Fahri Urrahman atau lebih biasa kupangggil Abi (itu adalah panggilan kesayanganku untuk Fahri) adalah lelaki yang tampan dan cukup tinggi. Selain itu dia juga pintar dan dewasa namun terkadang bisa berubah sangat manja. Sekarang dia sedang menjalani kuliah di salah satu universitas swasta di kotaku.  Kami menjalin hubungan hampir setengah tahun.
Sejak awal bertemu dengannya aku memang sudah tertarik dengan gaya bicaranya yang khas dan jiwa kepemimpinannya yang tinggi. Fahri juga terlihat alim dan baik di mataku. Pokoknya dia adalah calon suami yang sempurna untukku. Oleh karena itu, saat dia menyatakan cintanya kepadaku aku tidak ragu sedikitpun untuk menerimanya. Padahal waktu itu kami baru kenal selama kurang lebih satu bulan, selain itu aku juga tidak memperdulikan perbedaan umur kami yang berjarak empat tahun. Fahri juga tidak pernah mempermasalahkan sikapku yang memang kadang-kadang sangat kekanakan. Maklum lah aku hanyalah seorang remaja SMA kelas tiga yang baru menginjak umur  tujuh belas tahun.
Aku sangat menikmati hubunganku dengan Fahri, walaupun terkadang kami jarang bertemu karena dia disibukkan dengan kuliah dan organisasinya dan aku pun disibukkan dengan persiapan-persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Selain itu, aku juga menikmati saat-saat aku berdebat dengan Fahri. Berbeda dengan orang yang pacaran biasanya, kami lebih sering berdebat daripada mesra-mesraan. Namun perdebatan dan perbedaan itulah yang semakin membuatku merasa tidak pernah ingin kehilangan Fahri.
Aku yakin Fahri itu serius kepadaku, dia sangat sering menyatakan keinginannya untuk  menikahiku. Aku juga sangat ingin menikah dengannya, melahirkan anak-anak yang lucu, dan membangun keluarga bahagia ala Rasulullah bersamanya. Aku sangat sering mengkhayalkan adegan-adegan manis yang akan terjadi jika kami sudah menikah nanti. Seandainya saja aku sudah lulus sekolah aku rela menikah muda dengannya sekarang. Tapi…
“Bagaimana Annisa? Apakah Annisa setuju?” Tanya Fahri kepadaku.
Sekarang kami berada di taman dan duduk di kursi taman yang sama persis saat Fahri menyatakan cintanya padaku. Bahkan posisi duduk kami pun sama persis. Aku tidak berani menatap wajah Fahri, aku hanya menunduk dan memandang  kakiku.
“Abi tidak bermaksud menyakiti hati Annisa tapi Abi sadar kalau selama ini Abi itu salah. Abi menganggap pacaran itu baik.” Fahri menghela nafas sejenak lalu melanjutkan bicara.
“Tapi setelah Abi membaca sebuah buku, Abi sekarang sadar tentang semuanya. Selama ini kita hanya mendengar pacaran itu dilarang namun tidak dijelaskan alasan jelasnya kenapa pacaran itu dilarang. Di dalam buku itu dijelaskannya semuanya.” Fahri menarik nafas yang terdengar berat.
Aku masih dalam posisi yang sama, diam dan menunduk. Sangat sulit bagiku  untuk menerima semua ini secara tiba-tiba. Dadaku terasa sesak membuatku kesulitan untuk mengambil nafas. Mataku berkunang-kunang, kepalaku pening. Ya Allah jadikanlah ini hanya sebuah mimpi buruk. Amin.
“Bagaimana Annisa? Sekarang semuanya terserah Annisa. Insya Allah Abi tidak terpengaruh wanita manapun untuk berkata seperti ini?” Fahri berkata lembut sekali, ingin rasanya aku memeluknya dan memohon untuk tidak mengakhiri hubungan kami namun tentu saja aku tidak mungkin melakukannya.
“Apakah Abii bahagia jika Annisa mengatakan iya?” tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis.
Sekarang aku memberanikan diriku untuk memandang wajahnya dan menatap matanya. Fahri balas menatapku dengan tatapan yang lembut, tatapan yang sama seperti biasanya, tatapan sayang. Fahri tersenyum dan berkata.
“ Ada sesuatu yang terdapat dalam diri manusia yang tidak dapat dikendalikan. Akal dan pikiran masih bisa kita kendalikan Annisa, namun nafsu.” Fahri berhenti dan menggeleng.
Aku memalingkan wajahku yang mulai panas. Aku bertekad tidak akan terlihat lemah di hadapan Fahri. Aku tidak mau Fahri melihat aku menangis. Aku pasti kuat yah aku pasti kuat.
“Abi takut kalau-kalau Abi tidak bisa mengendalikan nafsu Abi pada Annisa, Abi tidak mau Annisa menjalin hubungan dengan orang yang salah seperti Abi. Abi menyesal kenapa kemarin kita tidak ta’aruf saja.” Kata Fahri bijaksana.
Aku kembali menatap mata Fahri untuk mencari-cari keraguan disana. Namun tidak ada keraguan sedikitpun, Fahri nampaknya sangat yakin untuk mengakhiri hubungan kami. Baiklah aku sudah memutuskan.
“Baiklah Bi, lakukanlah apa yang menurut Abi baik. Annisa setuju kalau memang Abi menginginkan semuanya berakhir. Lagipula kalau Annisa tetap memaksa toh semuanya akan sia-sia kalau Abi udah tidak sayang dengan Annisa. Apalagi nampaknya Abi juga tidak bahagia dengan Annisa.” Aku mengatakannya tanpa berani memandang wajah Fahri.
Tidak kusadari, tanpa bisa kutahan lagi air mataku berjatuhan. Akhirnya aku menangis. Aku benci terlihat lemah seperti ini, menangis karena cinta. Tidak! Aku tidak boleh menangis. Buru-buru aku menghapus air mataku, tapi tetap saja air mata itu tetap mengucur.
“Annisa bodoh kalau menangis demi orang seperti Abi.” Kata Fahri.
“Abi tidak sayang dengan Annisa, Abi tidak bahagia kan selama ini dengan Annisa? Abi bosan kan dengan Annisa?” Aku mengeluarkan amarahku  yang daritadi berusaha ku tahan disela tangisanku.
“Itu Annisa yang mengatakannya bukan Abi. Coba Annisa jangan su’udzon dengan Abi. Beberapa malam ini Abi udah melaksanakan sholat istikharah dan inilah jalan terbaik dari Allah.”
“apakah mungkin hasil istikharah itu salah?”
“Abi tidak tahu. Wallahu’alam”
Aku berusaha keras untuk menahan air mataku. Refleks, aku memukul-mukulkan tangan kananku sampai berdarah di kursi taman. Ini adalah kebiasaanku dari kecil jika aku sedang marah dan sakit hati  aku akan memukulkan tanganku kemana saja sampai berdarah, berharap sakit yang ada di hati itu berpindah ke tanganku. Namun tetap saja sakit hati itu masih ada tetapi ada kepuasaan tersendiri saat aku memukulkan tanganku itu.
“Annisa jangan menyakiti tangan Annisa kaya gitu dong, Abi tidak suka melihat Annisa mukulin tangannya kaya gitu.” Fahri berusaha menghentikan aksi ekstrimku, aku pun menurut.
“Annisa mau janji kan tidak akan membenci Abi? Annisa juga mau janji kan tidak akan sakit hati sama Abi?” Fahri berkata sambil tersenyum dengan manis.
Aku hanya mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa.
“Kita masih tetap sahabat kan?” Tanya Fahri .
Aku mengangguk lagi.
“Annisa percaya tidak dengan kata-kata “kalau orang jodoh pasti akan bertemu lagi”?” Fahri bertanya lagi.
Kali ini aku menggeleng, takut untuk berharap dengan kata-kata itu.
“Kalau memang nantinya Annisa belum mendapatkan jodoh yang lebih baik daripada Abi, saat itulah Abi akan datang untuk melamar Annisa.”
***
Sesampainya di rumah aku langsung memarkir motorku di garasi. Rasanya aku mau langsung ke kamar dan tidur sampai esok pagi. Beruntungnya esok adalah hari Minggu dan itu artinya aku bisa berdiam diri di rumah tanpa melakkukan apa-apa. Yeah cukup membahagiakan.
“Assalamu’alaikum.” Aku mungucapkan salam sambil membuka pintu rumah yang tidak dikunci. Aroma ayam goreng menusuk hidungku namun tidak seperti biasanya, kali ini aku tidak tergoda untuk berlari ke dapur dan makan.
“Waalaikumussallam.” Jawab mama dari dapur. “Udah makan Nak?” Tanya mama padaku masih dari dapur.
“Udah Ma.”Jawabku berbohong.
“Tadi kamu jalan sama Fahri?” Tanya mamaku lagi.
“Iya Ma, tadi Annisa jalan sama Fahri sekalian nyari makan. Makanya Annisa kayaknya gak makan malam soalnya masih kenyang Ma. Nih pisang keju titipan mama tadi, Annisa taruh di atas meja ruang tamu aja ya.” Kataku  sambil berjalan menuju kamar.
Sayup-sayup di dalam kamar, aku mendengar mamaku menyuruh adikku yang berumur 7 tahun untuk mandi. Aku melirik jam dinding doraemon yang ada di kamarku. Tepat pukul lima sore, aku teringat aku belum melaksanakan sholat ashar. Aku pun bergegas mengambil air wudhu dan melaksankan sholat.
Selepas sholat Ashar aku tidak langsung beranjak seperti biasanya, melainkan aku tetap memakai mukenaku dan menangis di hadapan Allah. Aku protes kepada Allah, mengapa Allah begitu jahat kepadaku. Mengapa Allah membiarkan hubungan Fahri dan aku berakhir seperti ini. Aku protes dan terus protes hingga akhirnya magrib dan aku pun kembali melaksanakan sholat. Sama seperti tadi aku pun terus protes dan menangis serta memukul-mukulkan tanganku ke lantai selepas sholat magrib sampai berkumandangnya adzan isya dan aku kembali sholat dan menangis sesudahnya.
Malam itu berjalan sangat lambat menurutku, beberapa kali aku mendengar ketukan Mama di pintu menyuruhku keluar namun aku tidak menggubrisnya. Aku terus menangis dan menangis hingga rasanya tidak ada air mata yang aku keluarkan. Tanganku juga semakin terasa sakit sekarang karena aku terus memukulkannya ke lantai. Bukan hanya tangan kananku yang aku korbankan melainkan tangan kiriku pun juga ikut andil dalam aksi pukul-memukul lantai.
Berjam-jam telah berlalu. Karena kelelahan, aku pun tertidur di atas sajadahku dengan masih mengenakan mukena. Saat tertidur itulah aku bermimpi bertemu seorang kakek yang tidak aku kenal. Dia berkata aku tidak berhak untuk menyalahkan Allah atas semua yang telah terjadi padaku. Aku hanyalah seorang manusia biasa yang tidak berhak protes kepada Allah, kepada Mahadzat yang paling agung. Allah lah yang telah mencipatakan kita. Dia itu sang Mahamengetahui di dunia ini. sesuatu yang menurutku kita benar belum tentu baik menurut Allah untuk kita. Kakek itu terus saja berbicara tentang kebesaran Allah dihadapanku. Mendengar penuturan kakek itu aku pun merasa kecil dan berdosa, aku kembali menangis. Kakek itu mendekat dan berkata “ percaya lah kepada Allah Nak, Insya Allah kamu akan bahagia.” Kakek itu tersenyum dan menghilang.
“Kakek!!!” aku terbangun dari tidurku bertepatan dengan dikumandangkannya adzan shubuh.
Aku segera bangun dan keluar kamar untuk mengambil wudhu namun aku urungkan karena masih ada Mama di dapur. Aku tidak bisa keluar dengan keadaan seperti ini, mata merah dan bengkak, tanganku pun kini juga ikut-ikutan bengkak. Orang rumah bisa heboh kalau tahu keadaanku sekarang. Aku belum siap untuk menjelaskannya sekarang, bahkan rencananya aku juga tidak akan bercerita dengan teman-temanku. Aku tidak mau menangis di hadapan mereka. Aku tidak mau terlihat lemah.
Aku menempelkan telingaku di pintu kamar.. Terdengar suara langkah kaki mama berjalan melewati kamarku. Itu artinya mama sedang berjalan menuju kamarnya. Aku membuka pintu kamarku pelan sekali agar tidak menimbulkan suara. Setelah tengok sana sini aku akhirnya memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan pelan-pelan sekali menuju kamar mandi.
Aku langsung membasuh mukaku dan menggosok gigiku sesampainya di kamar mandi. Tangaku terasa sakit saat memegang gayung dan itu sangat menyiksaku. Cukup lima belas menit untukku menyiapkan diri untuk menghadap Allah. Sekarang aku sudah berada di kamarku dengan memakai mukena. Sekarang saatnya sholat.
“Ya Allah Ya Tuhanku yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Hamba hanyalah seorang manusia biasa yang kecil di hadapanMu Ya Allah. Hamba sadar hamba bersalah, hamba terlalu banyak protes kepadaMu Ya Rabb. Maafkanlah hambaMu yang berlimang dosa ini. Jadikanlah hamba sebagai salah satu orang yang beruntung untuk mendapatkan rahmatMu Ya Ilahi.” Aku berdoa dan terus berdoa selepas sholat, berharap Allah SWT mau memaafkanku atas kekhilafanku.
***
“Annisa, kamu tidak makan sayang?” Tanya Mama di depan pintu kamarku yang terkunci.
“Em, Annisa udah makan Ma tadi malam, jadi ini masih kenyang.” Kataku berbohong.
Ya Rabb maafkanlah hamba atas kebohongan ini, doaku dalam hati,
“Kapan sayang? Kok Mama gak liat?” Tanya Mama lagi.
“A, Em, itu Ma, Annisa makannya pas tengah malam, pas semua orang udah pada tidur.” Aku kembali berbohong.
Ternyata benar, satu kebohongan yang kita buat akan membawa kita pada kebohongan-kebohongan yang lain.
“Ya sudah, Mama sama Abah mau ke kawninan dulu ya. Adik kamu juga ikut. Kamu jaga rumah ya.” Kata Mama sambil berlalu.
“Iya.” Kataku lega, dengan begitu aku tidak usah lagi kucing-kucingan dengan orang rumah.
Kebiasaan Mama itu kalo pergi kekawinan pasti pulanngnya sore. Kekawinannya sih sebentar aja, tapi pulang dari kawinan itu mampir-mapir dulu. Mampir ke rumah nenek, ke rumah tante, mampir ke pasar, ke warung bakso, pokoknya hampir semua tempat didatengin.
Setelah yakin orang rumah udah pergi, aku keluar kamar dan menuju dapur. Aku membuka kulkas untuk mencari timun. Menurut majalah yang aku baca, katanya timun itu bisa mengurangi mata bengkak sehabis nangis. Aku pun memotong timun dua iris dan melatakkannya di atas mataku. Brr dingin, tapi segar. Hasilnya lumayanlah, bengkaknya berkurang sedikit.
Seharian itu kerjaan ku hanyalah berbaring di atas tempat tidur sambil sesekali menangis. Jujur, aku masih belum ikhlas untuk melepaskan Fahri. Aneh, perutku tidak terasa lapar sama sekali, padahal aku sudah tidak makan sejak kemarin siang. Itu berarti aku udah satu hari penuh tidak makan. Ternyata sakit hati bisa dijadikan cara diet yang cepat.
Aku hampir terjatuh dari tempat tidurku mendengar nada panggilan khusus untuk Fahri di handphoneku. Aku meraih handphoneku yang ada berada di atas meja belajar. Aku membaca layarnya dan di sana terpampang jelas tulisan “Abie Sayang calling…”. Rupanya aku masih belum mengganti nama Abi Sayang di kontakku. Tapi aku tidak akan menggantinya, karena sampai kapanpun Fahri tetaplah menjadi Abie sayang di hatiku. Aku akan menunggu saat di mana Fahri akan datang melamarku. Aku pun menekan tombol receive.
“Halo. Assalamualaikum Bi.”
“Waalaikumussallam, Annisa lagi apa?”
“lagi rebahan aja.”
“Annisa udah makan?”
“Kenyang.”
“Makan apa?”
“Makan hati, hehe bercanda Bi. Annisa makan lontong.”
“Maaf.”
“Permintaan maaf diterima.”
“Semangat sayang.”
“Tolong Bi jangan berkata seperti itu, maksud Abi apa? Jujur, Annisa belum kuat. Assalamualaikum.”
Tanpa menunggu jawaban salam dari Fahri aku memutuskan hubungan telepon. Maksud Fahri itu apa sih? Tuh kan aku nangis lagi gara-gara mendengar Fahri bilang sayang. Perasaanku menjadi sangat sensitif kalau lagi sakit hati seperti ini. Aku pun memilih untuk keluar kamar dan menonton acara televisi untuk melupakan masalahku sejenak.
***
Hari yang paling ku benci pun tiba, hari Senin. Dari dulu aku sangat membenci hari Senin. Pada hari Senin kita harus mulai kembali bersekolah, pada hari Senin kita harus upacara bendera, dan masih banyak lagi hal-hal yang terpaksa kita lakukan di hari Senin. Aku termasuk orang yang juga membenci upacara bendera. Aku benci saat aku harus berdiri diam tanpa boleh bergerak sedikitpun. Ditambah suasana yang panas juga membuatku semakin benci dengan upacara bendera.
Berbeda dengan Fahri, dia malah sangat mencintai upacara bendera. Dia berkata dengan upacara kita lebih bisa menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Kami sering berdebat tentang upacara. Aku berkata jika upacara itu membosankan maka Fahri akan membalas perkataanku dengan mengatakan upacara itu menyenangkan apalagi kalau kita bisa lebih menghayatinya. Fahri sering berkata, “Coba bayangkan betapa sulitnya dulu pahlawan kita untuk mengibarkan bendera di tanah air kita. Kamu harus bisa lebih menghargainya istriku tercinta.” Dan aku akan menjawab, “Baiklah suamiku tersayang.”. Romantis kan? Aku hampir kembali menagis saat mengingat semua itu.
Aku mematut diriku di cermin sejenak. Tanpa berniat untuk berdandan berlebihan, aku mengambil bedak dan memoleskan sedikit ke pipiku yang agak sedikit tembem. Aku lalu memakai kerudungku dan semuanya beres sekarang. Aku berusaha tersenyum di depan cermin, namun senyum itu terlihat sekali sangat dipaksakan. Aku berharap hari ini aku bisa berakting bahagia di sekolah. Aku masih tidak ingin satu orang pun tau tentang hatiku yang remuk.
“Mama, Abah. Annisa berangkat dulu ya. Cepet-cepet nih udah telat jadi gak bisa sarapan.hehehe” Kataku pada Mama dan Abahku yang sedang asyik nonton acara Islam Itu Indah.
“Kamu itu kebiasaan Nisa.” Kataku abahku datar. Mungkin beliau sudah terbiasa dengan kelakuanku yang emang susah untuk tidak tidur sesudah sholat shubuh, walhasil udah bisa dipastikan aku sangat sering terlambat pergi ke sekolah. Berbanding terbalik dengan adikku, Amin yang sangat rajin bangun pagi.
Tanpa melakukan ritual cium tangan orang tua terlebih dahulu seperti biasanya, aku langsung ngeloyor keluar rumah. Aku memang sengaja tidak mencium tangan orang tuaku hari ini, karena aku tidak mau mereka melihat keadaan tanganku. Aku sendiri saja ngeri melihat jariku yang membengkak itu, makanya aku membalut jari tanganku dengan perban agar bengkak tidak terlihat begitu saja.
“Loh loh Annisa, kok nggak salim?” Tanya Mamaku nyaring dari depan pintu. Saat itu aku sudah siap memacu motorku. Aku pura-pura tidak mendengar dan hanya berdadah ria di atas motorku yang berjalan.
“Woi, Bro! Tumben lu ke sekolah saat begini.?” Tanya Rifqi kepadaku saat aku tiba di parkiran sekolah. Rifqi memang terbiasa memanggilku Bro begitu juga denganku.
“Semales itukah gue Bro, sampe-sampe lu heran liat tampang gue di sekolah.” Jawabku dengan gaya ceriaku yang biasa.
Sekolahku memang mengadakan ulangan semester lebih cepat satu minggu daripada sekolah-sekolah lain. Sabtu kemarin adalah hari terakhir ulangan, dan sekarang tugas para murid hanya menunggu pengumuman nilai di mading sekolah.Dan biasanya kesempatan ini aku gunakan untuk menghilang dari peredaran di sekolah, apalagi yang nikmat kalau bukan tidur di rumah seharian. Tapi anehnya hari ini aku memilih untuk ke sekolah daripada tidur, karena sekarang rasanya lebih baik jika aku berada dalam keramain.
“Bro! Lu mau diem di sini aja terus digodain Askani?” Rifqi megagetkanku yang ternnyata dari tadi melamun.
“Ah eh apa? Askani? Mana-mana?” Aku celingak-celinguk gugup. Askani adalah salah satu dari tiga satpam di sekolahku. Dia adalah satpam termuda di sekolahku namun agak centil. Tak jarang dia menggoda-goda sisiwi sekolahku termasuk aku.
“Udah ah, malah nyariin dia. Mendingan temenin gue ke kantin. Laper nih Bro.” Rifqi menarikku ke kantin tanpa ba-bi-bu lagi. Aku pun nurut dengan salah satu teman baikku di sekolah itu.
“Eh, tangan lu kenapa Bro?” Tanya Rifqi dengan nada khawatir. Dia menghentikan tarikannya dan menatapku penasaran.
“Gak papa, digigit adik gue. Udah ah ayu ke kantin.” Sekarang gantian aku yang menarik tangan Rifqi.
“Buset, adik lu sadis amat Bro.”
Rifqi  makan lahap sekali di hadapanku. Dia memesan nasi goreng dan beberapa sosis ayam serta es teh sebagai minumnya. Sebenarnya Rifqi udah nawarin mau mentraktirku, namun untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menolaknya. Rada nggak percaya juga sih tuh anak dengan penolakanku. Seorang Annisa menolak untuk dtraktir, seorang Annisa yang tukang palak menolak untuk ditraktir. Ini memang sangat mengejutkan.
“Kenyang gue.  Nggak nyesel lu nolak traktiran gue?” Goda Rifqi sambil menggoyang-goyangkan sesendok terakhir nasi gorengnya. Aku menggeleng mantap.
“Aneh lu Bro! Oh Ya Bro, apa kabar si kuliahan?” Tanya Rifqi santai sambil menyuap satu sendok terakhirnya nan berharga itu.
Aku seperti tersengat listrik mendengar pertanyaan Rifqi. Si kuliahan adalah sebutan Rifqi untuk Fahri. Lama aku terdiam untuk menjawab pertanyaan Rifqi, aku bingung mau menjawab apa. Aku belum siap untuk bercerita dengan siapapun. Aku masih hendak menyimpan semua ini selama aku bisa. Aku sadar ini bukanlah aku yang biasanya selalu terbuka dengan orang terdekatku.
“Baik-baik aja kok.” Jawabku dengan keyakinan itu tidak bohong. Aku memang tidak sedang berbohong. Fahri memang sedang baik-baik aja. Yang tidak baik itu hubungan kami. Dan Rifqi bertanya tentang Fahri bukan tentang hubungan kami. Yah, aku tidak berbohong.
“Bro, gue cabut dulu ya. Dah…” Kataku langsung berjalan meninggalkan Rifqi yang bengong.
Aku memutuskan untuk pergi daripada aku harus menambah kebohongan-kebohongan lain untuk menjawab pertanyaan Rifqi tentang Fahri nantinya. Aku pun memutuskan untuk mengunjungi Perpustakaan Kota yang ada di kotaku. Sudah sejak kelas satu SMA aku menjadi pengunjung tetap di sana.
***
Aku memarkir motorku di bawah pohon mangga depan Perpustakaan Kota. Sejak kecil aku mempunyai hobi yang tidak pernah berubah, yaitu membaca. Hampir setiap hari aku ke sini baik untuk membaca, meminjam, ataupun mengembalikan buku. Karena frekuensi kedatanganku yang sering itu, menyebabkan aku sedikit akrab dengan para petugas di perpustakaan ini.
Aku melangkah menuju pintu masuk, di sana sudah ada Kak Udi yang menunggu sambil tersenyum-senyum jail. Ka Udi adalah salah satu petugas perpustakaan. Dari sekian banyak petugas di sini, Ka Udi lah yang paling akrab dernganku. Usianya sekitar 22 tahun, bertubuh tinggi dan tampan. Jujur aku sempat kesemsem sama dia. Hehehe
“Kata sandi.” Kata Ka Udi serius di tengah-tengah pintu masuk yang memang tidak  terlalu besar itu.
“Kuntilanak buku.” Kataku sama seriusnya.
“Kata sandi diterima.” Katanya terseyum sambil membukakan pintu untukku.
Itu memang kebiasaan Ka Udi setiap aku datang. Dia selalu tahu saat kapan aku datang dan menungguku di depan pintu sambil menayakan kata sandi seperti tadi. Awalnya jawaban kata sandiku selalu berubah-ubah, namun entah sejak kapan tanpa aku sadari aku selalu mejawab “kuntilanak buku.” Dan jadilah Ka Udi memanggilku sang kuntilanak buku modern di perpustakaan ini.
“Jam 9 pagi. Bolos Kun?” Tanya Ka Udi sambil melihat jam tangannya. Dia berusaha menjajari langkahku yang gontai. Kami berjalan bersisian menuju tempat duduk favoritku, kursi di pojok perpustakaan itu.
“Saya tidak senakal itu. Oke?” Kataku dengan gaya formal yang dibuat-buat.
“Ya udah, aku ke sana dulu ya Kun. Kamu sih kepagian datengnya, lagi jam sibuk nih.” Ka Udi berkata sambil memegang bagian atas kepalaku. Aku yakin jika saja aku tidak memakai kerudung saat ini, rambutku akan diacak-acak olehnya.
Aku duduk sendirian di kursi favoritku itu memandangi punggung Ka Udi yang semakin mendekat ke meja pelayanan. Jam segini memang jam sibuk di perpustakaan ini karena kebanyakan para mahasiswa menyempatkan untuk mengerjakan tugas atau sekedar ngeceng di sini sebelum ke kampus. Jarak perpustakaan kota ini memang cukup dekat dengan Universitas Lambung Mangkurat salah satu universitas negeri favorit di kotaku.
Aku berjalan menuju rak terdekat untuk mengambil satu buku secara acak lalu kembali duduk di kursiku semula. Aku membuka halaman demi halaman dari buku itu, namun aku tidak benar-benar membacanya. Kata dan kalimat yang ada di buku itu tidak sempat menempel di otakku sedikitpun mereka hanya lalu dan menghilang. Mungkin jasmaniku sekarang terlihat sehat dan sedang membaca buku, namun rohaniku sekarang sedang sakit dan kacau.
“AAAA” Aku memekik tertahan. Aku dikejutkan oleh sapasang tangan yang kokoh menutup mataku.
Pelan-pelan sepasang tangan itu menjauh dari mataku. Aku pun kini sudah bisa melihat lagi walau masih agak kabur. Itu adalah reaksi dimana mata kita membiasakan dari tempat yang tadinya gelap menjadi tiba-tiba terang.
“BAAAA.” Kata seorang laki-laki tepat di wajahku.
“Ka Adry. Kemana aja lu? Lama nggak kelihatan?” Tanyaku sumringah.
“Gue ada kok..” Kata Ka Adry semangat sambil mencubit-cubit pipiku.
“Eit..eit..eit..tangan lu ya lepasin ya tolong ya. Jangan cubit-cubit sembarangan gitu dong. Bukan muhrim tau. Dasar lu.!” Kataku sambil melepaskan cubitan Ka Adry dari pipiku. Aku pun memonyongkan bibirku pertanda aku pura-pura merajuk.
Ka Adry adalah temanku sejak dua tahun lalu.Bukan hanya teman namun dia adalah salah satu sahabat terbaikku. Namun sejak dia lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Universitas Lambung Mangkurat kami jarang bertemu. Dia sibuk dengan kehidupannya begitu juga aku. Sudah hampir dua bulan ini aku tidak melihat batang hidugnya. Kangen juga.
Nama lengkapnya Adry Nugroho. Walaupun kami berbeda agama, persahabatan kami tetap berjalan baik hingga sekarang. Ka Adry beragama Katolik. Dulunya dia adalah kakak kelasku di SMA. Kami menjadi akrab saat aku tidak sengaja hampir menabraknya di parkiran sekolah saat hari pertama masuk sekolah. Yah, aku memang udah sangat terlambat waktu itu untuk masuk kelas. Maka dari itu aku khilaf mengendarai motorku lumayan cepat di area parkiran sekolah yang lumayan sempit itu. Tau-taunya dia nongol entah darimana dan tertabraklah dia. Akhirnya aku tidak jadi masuk kelas sama sekali karena aku harus bermasalah dengan guru BP. Dari sanalah hubungan kami semakin dekat hingga sekarang.
“iya deh tau yang lagi pacaran sama Pak Ustad.” Ka Adry kembali mencubit pipiku.
Aku sempat terenyak dengan perkataan Ka Adry. Kenapa semua orang membahas dia sih? Tanyaku dalam hati. Aku pun semakin getol melepaskan cubitan Ka Adry di pipiku. Ka Adry melepaskan cubitannya dan melihat tajam ke arah jari-jariku yang di perban. Dia telah mengenalku selama dua tahun, dan tidak bisa dipungkiri kalau dia tahu banyak tentang diriku.
“Gue nggak papa kok.” Aku berkata tanpa menunggu ditanya. Aku menarik tanganku dari tangannya dan langsung beranjak pergi menuju pintu keluar.
“Annisa.” Fahri yang berada di pintu masuk perpustakaan memanggil namaku hampir bersamaan dengan Ka Adry yang ternyata mengejarku.
“Abi.” Kataku terkejut sambil menyembunyikan tanganku ke belakang. Terlambat. Tenyata abi sudah melihatnya.
Tanpa berpikir panjang aku berlari dan terus berlari tanpa menghiraukan panggilan dari Fahri dan Ka Adry atau mungkin juga ditambah dengan panggilan Ka Udi. Aku tidak peduli. Yang aku inginkan sekarang adalah cepat-cepat tiba di motorku dan pergi dari sini. Sekarang.
***
Aku duduk di kursi taman sendirian.Tidak seperi di pagi hari yang ramai, taman ini sepi di sore hari. Taman ini memang sudah sejak lama menjadi tempat pelarianku dikala sedang lelah menghadapi dunia seperti sekarang ini. Aku memejamkan mataku sembari memutar kenangan-kenangan indah yang tidak akan pernah kulupakan. Ya semuanya berawal dari di taman ini. Dan dengan tragis juga semuanya berakhir di sini.
Di taman inilah aku bertemu dengan Fahri untuk pertama kali. Setiap paginya taman ini memang ramai di datangi orang-orang untuk lari pagi tak terkecuali aku. Hampir setiap minggu aku ke sini untuk lari pagi dan saat itu lah kami bertemu. Entah mengapa waktu itu kami berdua langsung akrab dan pembicaraan kami pun nyambung. Kami berbincang-bincang di taman itu sangat lama.
Sepulangnya dari sana aku sadar aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Fahri. Namun betapa bodohnya aku saat menyadari aku tidak mempunyai apapun untuk menghubunginya lagi. Aku malu untuk sekedar meminta nomor telepon ataupun alamat facebook dan sejenisnya kepada Fahri. Sebagai perempuan aku mempertahankan gengsiku untuk tidak menanyakan hal-hal seperti itu. Aku hanya bisa menunggu berharap Fahrilah yang terlebih dahulu mempertanyakan nomor handphone atau facebook, twitter, blog, apapun itu kepadaku. Namun sampai pembicaraan kami berakhir pengharapanku sia-sia.
Setiap malam aku hanya bisa berdoa agar Allah mau menghilangkan perasaanku kepada Fahri yang tidak seharusnya aku rasakan ini. Tapi, keajaiban itu tiba-tiba datang. Aku kembali dipertemukan kembali dengan Fahri. Kami kembali bertemu di suatu acara di kampus Ka Adry. Saat itu aku diminta Ka Adry untuk menemaninya datang ke acara itu. Dan saat itu pula aku yakin Fahri adalah jodohku.
Satu persatu Ka Adry memperkenalkan teman-temannya kepadaku. Dan saat itulah aku melihatnya sedang berbicara dengan temannya di sudut ruangan. Mata kami pun bertemu dan kami pun saling tersenyum. Kami pun berbicara sebentar, dan aku memperkenalkan Fahri dengan Ka Adry. Tidak sampai situ saja, Fahri yang ternyata salah satu undangan di acara itu mengajak aku dan Ka Adry makan siang bersama setelah selesai acara. Aku dan Ka Adry pun setuju dengan ajakan itu. Sejak itulah aku lebih akrab dengan Fahri.
Berhubung kami sudah saling bertukar nomor handphone sejak saat itu, tidak jarang kami smsan sampai tengah malam. Fahri juga semakin sering mengajakku makan siang bersama sepulang aku sekolah. Setiap hari Minggu kami selalu menyempatkan diri untuk jogging bersama di taman tempat kami pertama bertemu. Satu bulan kemudian Fahri menyatakan cintanya kepadaku.
Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari itu Sabtu, tanggal 4 Agustus 2012 yang bertepatan dengan tanggal 15 Ramadhan. Tradisi sekolahku adalah meliburkan siswa-siswanya saat di bulan Ramadhan. Itu aku gunakan untuk lebih sering bertemu dengan Fahri. Setiap pagi di bulan Ramadhan itu kami habiskan sambil berlari-lari kecil mengitari taman itu.
Tapi hari itu sedikit berbeda menurutku, Fahri mengajakku duduk di salah satu kursi taman yang kosong. Aku pun menurut. Tidak lama setelah kami duduk, Fahri pun langsung menyatakan bahwa selama ini dia menyimpan rasa kepadaku. Dia menyayangiku dan mencintaiku segenap jiwanya. Tentu saja, aku terbengong-bengong dengan apa yang dikatakan Fahri. Aku takjub tak percaya.
Aku masih bengong saat Fahri menyuruhku menutup mata. Dengan perasaan yang amat sangat gugup aku menutup mataku. Aku merasakan Fahri beranjak dari tempat duduknya saat aku menutup mata. Tidak lama dia kembali dan menyuruhku untuk membuka mata. Sekarang di tangan Fahri sudah ada dua buah bunga melati putih. Jantungku semakin berdetak kencang menunggu apa yang ingin Fahri katakan padaku.
“Annisa, ditangan Kakak sekarang ada dua buah bunga melati berwarna putih. Kalau Annisa mau menerima cinta Kakak, Annisa ambil kedua bunga ini dan berikan satu kepada Kakak. Tapi kalau Annisa menolak cinta Kakak, Annisa ambil kedua bunga ini dan lemparkan keduanya ke wajah Kakak.” Kata Fahri mantap. Saat itu aku masih memanggilnya dengan sebutan Kakak.
“Sekarang giliran Kakak yang tutup mata. Ayo tutup mata!” perintahku kepada Fahri sambil tersenyum.
Fahri menurut dan menutup matanya. Gugup, aku mengambil kedua bunga melati di tangan Fahri Cukup lama aku menimbang-nimbang apa yang akan aku lakukan. Saking lamanya Fahri sudah beberapa kali mengintip dengan membuka sebelah matanya sedikit. Bukan, bukannya aku ragu untuk menerima cinta Fahri. Aku Cuma bingung apa yang harus aku lakukan agar hal ini lebih terkesan romantis. Akhirnya aku memutuskan untuk memasangkan salah satu bunga melati itu di telinga Fahri. Fahri membuka matanya dan tersenyum lebar.
Aku terbangun dari lamunanku yang indah karena tiba-tiba aku mengendus bau makanan kesukaanku, pempek. Aku pun membuka mataku.  Aku terkejut melihat tempat bekal kesayanganku yang seharusnya berada di rumah sekarang berada tepat di depan mataku.
“Ka Adry.” Kataku heran melihat sosok sahabatku yang tiba-tiba ada di depanku ini.
“Kenapa lu jadi kabur gitu sih, Neng?” Tanya Ka Adry sambil duduk di sebelahku.
“Ini gue bawain makanan kesukaan lu.” Katanya lagi sambil memberikan tempat bekalku kepadaku.
“Kok tempat bekal gue ada di tangan lu sih? Nyolong dari dapur gue lu ya?” Tanyaku dengan nada bercanda.
“Gue itu nyariin lu ke rumah. Gue kira lu tadi langsung pulang. Eh taunya kata nyokab lu elunya kaga ada. Ya udah gue bilang aja minjem tempat bekal kesayangan lu ini, gue tau kalo elu lagi stress biasanya kan lapar mulu kerjaannya.” Jelas Adry panjang lebar.
“Kok lu bisa tau gue di sini sih?” Tanyaku sambil memakan pempek yang masih hangat. Enak.
“Halooo Neng Yuriannisa, gue itu udah kenal sama lu berapa tahun sih? Gue itu tau banyak tentang lu. Ini gue bawain ini juga buat lu, itung-itung buat persediaan di rumah. Lu pasti membutuhkan amunisi untuk menghadapi stress lu.” Kata Adry sambil mengeluarkan satu kotak choki-choki, satu kotak beng-beng. Satu renteng Better, dan dua bungkus keripik singkong yang menggiurkan.
Aku tersenyum membayangkan Ka Adry itu Doraemon yang sedang mengelurkan barang-barang dari kantong ajaibnya. Di sela senyumanku aku terus makan dengan lahap pempekku yang sangat enak ini. Aku baru menyadari ternyata perutku sangat lapar sekarang. Mungkin benar kata Ka Adry, aku membutuhkan amunisi untuk mengahadapi kegalauan yang aku rasakan sekarang.
“Lu nggak kuliah?” Tanyaku pada Ka Adry yang terus saja memandangiku dengan tatapan aneh.
“Lu sih pake acara kabur segala. Gue khawatir tau.” Jawab Ka Adry masih memandangiku.
“Lu pasti udah tau semuanya dari Ab..Fahri..” Kataku sambil memalingkan wajahku dari pandangannya.
“Gue nggak perlu ngomong sama laki-laki brengsek kaya  dia untuk tau alasan kenapa lu kaya gini. Lu putus kan sama dia?”
“Ab..Fahri itu nggak brengsek Kak. Jangan pernah menghina Ab..Fahri di depan gue.”
“Ternyata hati lu masih tertutup untuk mengetahui siapa orang yang benar-benar mencintai lu, Annisa.” Kata Ka Adry sambil beranjak pergi meninggalkanku kembali sendiri.
“Maksud lu apa sih Ka? Gue nggak ngerti.” Kataku sambil mengejar Ka Adry. Tidak lupa amunisi pemberian Ka Adry sudah aku masukan ke dalam tasku.
“Ka, tunggu dong. Kok lu ngomong gitu sih? Lu marah sama gue?” Aku masih berusaha menjajari langkah Ka Adry yang cepat.
“Ka, stop dong! Lu kenapa sih?” Aku mencegat Ka Adry dengan merentangkan kedua tanganku di depannya.
Tanpa kuduga, Ka Adry tiba-tiba memelukku. Aku kaget setengah mati, namun setelah cukup sadar dengan apa yang terjadi aku pun brontak. Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan pelukan Ka Adry. Namun usahaku sia-sia, semakin aku brontak semakin erat Ka Adry memelukku.
“Ka, lu kenapa sih? Lepasin gue! SEKARANG!” kataku marah.
“Astaga, apa yang gue lakuin? Gue minta maaf Annisa.” Kata Ka Adry dengan nada menyesal.
Aku mendorongnya menjauh dariku. Dengan perasaan yang marah aku pun meninggalkannya. Sembarangan banget sih meluk-meluk orang. Emangnya dia pikir aku ini cewek murahan yang bisa dipeluk-peluk kaya gitu. Dasar mesum. Mesum. Mesum.
“Annisa, tunggu.” Ka Adry menarik lengan kananku.
“Apa-apaan sih. Lepasin gak? Lepasin! Lepasin! Dasar mesum! lepasin! Lepasin!” aku berteriak-teriak heboh.
“Oke gue lepasin. Tapi lu harus janji mau dengerin omongan gue.” Kata Ka Adry frustasi.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Aku minta maaf Annisa udah sembarangan meluk kamu kaya tadi. Aku beneran nggak sadar dengan apa yang aku lakukan.” Kata Ka Adry dengan nada canggung. Mungkin dia agak sedikit canggung ber-aku-kamu denganku.
Aku masih diam, tidak tau harus berkata apa. Mungkin dalam agama Ka Adry, apa yang dilakukannya tadi adalah hal yang wajar. Tapi apakah dia lupa kalau aku ini seorang muslimah? Agamaku tidak memperbolehkan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim saling berpelukan. Tidak bisakah dia menghargai kepercayaanku terhadap agamaku?
“Annisa.” Panggil Ka Adry sambil berlutut di hadapanku.
Aku mengerutkan keningku, kebingungan. Apa sebegitu menyesalnya Ka Adry sampai bersujud seperti ini untuk meminta maafku? Maafin gak ya?
“Aku cinta sama kamu. Aku tidak tahu kapan pastinya perasaanku ini muncul, yang pasti hatiku sakit sekali saat mengetahui hubungan kamu dengan hhh, si Fahri itu.” Ka Adry menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Tapi ternyata hatiku lebih sakit lagi saat mengetahui begitu tersiksanya kamu saat hubungan kalian berakhir. Jangan potong pembicaraan saya Yuriannisa.” Ka Adry mengacungkan telunjuknya di wajahku saat aku ingin membuka mulut.
“Gue tau lu nggak bakal nerima gue sekarang. Selain mungkin karena gue agak sedikit berandalan tidak seperti hhh, si Fahri itu. Lagipula mungkin prinsip kita masih berbeda. Aku masih percaya dengan agamaku begitu juga dengan dirimu. Tolonglah dengarkan saya bicara dulu saudara Yuriannnisa yang manis.” Ka Adry gemas melihatku kembali ingin membuka mulut. Habisnya aku tidak terlalu tahan berdiam diri seperti ini. Lagipula adegan ini sangat lucu kalau saja cewek yang di depan Ka Adry sekarang bukan aku.
“Aku janji akan berubah menjadi lebih baik. Aku janji akan berusaha mengenal agama islam. Bahkan aku rela meninggalkan agamaku yang sekarang demi menikahimu. Aku akan langsung melamarmu Yuriannisa” Ka Adry berkata serius. Dia masih berlutut di hadapanku.
“Jangan! Kalau lu.. eh kamu memeluk islam demi menikahiku gu..eh aku tidak akan pernah menerima lamaranmu saudara Adry Nugroho. Karena itu berarti kamu ingin mengenal Allah bukan dari hatimu. Peluk lah islam demi Allah, jangan demi aku. aku bukan siapa-siapa.” Kataku sambil tersenyum tulus.
Ka Adry terdiam mendengar kata-kataku. Dia seperti berpikir keras. Aku pun menyuruhnya untuk berdiri dan mengajaknya pulang ke rumahku. Ibuku pasti sangat merindukan Ka Adry karena sekarang dia sangat jarang berkunjung ke rumah tidak seperti dulu yang hampir setiap hari.
Tanpa kusadari, ada sepasang mata yang dari tadi mengamati adegan demi adeganku bersama Ka Adry dari kejauhan. Fahri tersenyum simpul. Entah apa yang dia pikirkan. Fahri pergi dari taman itu setelah yakin aku dan Ka Adry sudah cukup jauh untuk melihat tempat persembunyiannya selama ini.[]

Man Jadda Wa Jadda


Sebuah kalimat yang begitu sederhana. Mudah diingat dan diucapkan. Sebuah kalimat yang telah memotivasi orang-orang hebat di dunia. Sebuah kalimat yang berasal dari negeri seribu satu malam yang sarat akan makna. “man jadda wa jadda”. Barang siapa yang besungguh-sungguh, maka dia akan berhasil.
Sehebat apapun manusia, pasti pernah merasa putus asa atau istilah yang lebih keren adalah down atau galau. Tidak apa-apa. Kegagalan, kehancuran, kemalangan, kelemahan dan kejatuhan adalah hal yang wajar. Hidup itu memang tidak mudah bukan? Namun, itu semua kembali kepada bagaimana kita mengatasi perasaan tersebut. Siapa yang mau hari-harinya dihabiskan dengan wajah yang merengut tanpa adanya ukiran senyuman sedikitpun? Apakah Anda mau itu terjadi pada hidup Anda? Kalau saya sudah pasti akan berkata “tidak” dengan tegas. Saya ingin hari-hari saya penuh dengan senyuman, canda dan tawa.
Cobalah tutup mata Anda, lalu tarik nafas dan hembuskan secara perlahan, lakukan beberapa kali. Usahakan setiap tarikan nafas membuat Anda lebih tenang dari sebelumnya. Lalu pada hembusan nafas terakhir katakan, “man jadda wa jadda”. Biasanya itu saya lakukan jika saya merasa sudah hampir menyerah dalam melakukan sesuatu yang menurut saya sulit untuk dilakukan, dan hasilnya sangatlah manjur. Kalimat itu bagai mantra sihir yang membuat saya menjadi lebih semangat dan memandang kesulitan dari sisinya yang lain yang membuat kesulitan itu terlihat lebih mudah.
Kupu-kupu
Kehidupan itu layaknya seekor kupu-kupu. Kupu-kupu itu adalah salah satu makhluk hidup cipataan Allah yang sangat indah dan manis. Walaupun memiliki ukuran yang rata-rata kecil, namun dia bisa mencuri perhatian setiap orang yang melihatnya. Warnanya yang indah, gerakan terbang yang anggun saat mengitari bunga dan sesekali hinggap untuk mengambil sarinya, itu adalah daya tarik dari kupu-kupu. Namun, sebelum kupu-kupu mencapai keindahannya dia harus menjalani fase-fase yang sangat panjang.
Di mulai dari telur yang ukurannya sangat kecil, bahkan dari sekian banyak telur yang dihasilkan dari sang induk hanya beberapa saja yang bisa bertahan dan akhirnya menetas menjadi ulat. Perjuangan para ulat pun di mulai, mereka itu sangatlah jelek dan kegiatan mereka hanyalah makan dan tidur. Lumayan banyak orang di dunia ini yang takut dengan ulat, terutama wanita. Mereka kerap kali berteriak histeris sambil menginjak-injak sang ulat nan buruk rupa sambil terkadang berkata “huh, dasar ulat jelek. Mati kau! Uh uh uh uuuuhhhh”. Padahal ulat yang mereka takuti dan mereka hina-hina itu adalah cikal-bakal dari kupu-kupu yang sebagian besar dari wanita itu sendiri menyukainya. Ulat yang berhasil bertahan dan menghindar dari sandal-sandal para wanita, akhirnya berubah menjadi kepompong.
Itu mungkin salah satu saat tersulit, karena sang ulat yang terbiasa makan banyak harus berpuasa dalam waktu yang lama. Siang demi siang. Malam demi malam. Hujan dan panas dilalui oleh para kepompong dalam pertapaan panjang mereka. Sampai akhirnya keluarlah dari serat-serat benang kepompong tersebut makhluk mungil nan indah, kupu-kupu. Itulah kehidupan, kita tidak bisa mencapai keindahan dalam hidup kita semudah membalikkan telapak tangan.
Layaknya kupu-kupu, setiap manusia di dunia ini memiliki fase kehidupannya masing-masing. Kita harus bisa bertahan dengan segala macam cobaan dan ujian. Jangan memandang kegagalan dalam hidup kita sebagai suatu bencana yang besar. Pandanglah kegagalan sebagai salah satu fase kehidupan kita menuju keindahan. Marilah kita angkat kepala kita, kembangkan senyum kita, dan kobarkan semangat kita! Yakinlah, suatu saat kita pasti akan bahagia! Yakinlah, suatu saat kita akan mencapai keindahan seperti yang dimiliki kupu-kupu.
Hidup untuk Bermimpi
Saya pernah menonton sebuah film bergenre komedi yang mambuat saya terpingkal-pingkal saat menontonnya. Namun saya tidak ingin membahas film itu, melainkan saya akan membahas apa yang saya dapat dari film tersebut, beberapa kalimat sederhana.
“Semua orang punya impian. Dengan impian, ada harapan. Semua orang punya impian. Dengan impian, ada kekuatan. Impian menyinari hatimu bagai mentari menerangi seluruh duniamu. Impian membimbingmu ke jalan yang benar. Memberimu keberanian untuk melangkah maju.”
Hidup untuk bermimpi. Hidup untuk membangun impian-impian menjadi sebuah kenyataan. Jangan takut untuk sekedar memiliki impian. Tenang saja, saya menjamin bermimpi itu gratis tanpa dipungut biaya apapun. Saya sendiri memiliki mimpi-mimpi serta harapan-harapan yang bisa dikatakan gila. Saya ingin kuliah di luar negeri. Saya ingin pergi ke Jepang dan Paris saat musim gugur dan semi. Saya juga ingin pergi ke London untuk bertemu aktor favorit saya, Daniel Radcliffe. Saya juga ingin pergi ke India untuk melihat Taj Mahal. Lalu, saat musim dingin saya akan terbang ke Swiss untuk  minum coklat hangat di sana.  Saya memang termasuk orang yang imajinatif. Masih banyak impian-impian gila saya yang lainnya. Saya memiliki keyakinan suatu saat nanti saya akan mencapai semua impian saya. “man jadda wa jadda” itu adalah janji Allah.
Biasanya alasan orang yang takut mengukir impian-impiannya adalah kendala ekonomi. Sebagian besar dari kita merasa ketidakmampuan ekonomi kita adalah akhir dari segalanya. Mereka takut mimpi-mimpi itu hanya akan membuat mereka jatuh dan sakit pada akhirnya. Mereka memandang dunia itu hanya untuk orang-orang yang memiliki uang banyak. Padahal kenyataannya kemampuan berpikir mereka melebihi orang-orang kaya itu.
Salah satu modal untuk meraih mimpi-mimpi kita adalah percaya diri. Jangan minder dengan apa yang kita miliki di depan orang lain yang lebih dari kita. Lebih kaya, lebih pintar, lebih cantik atau ganteng, lebih tinggi, lebih langsing, dan lebih-lebih lainnya. Jangan minder! Kita harus bisa menghargai apa yang ada dalam diri kita. Kalau kita tidak menghargai diri kita sendiri bagaimana orang lain mau menghargai kita?
Berusaha Sedikit Lebih Keras
                Seribu satu impian tanpa diiringi seribu satu usaha semuanya akan sia-sia. Untuk apa kita bermimpi jika tidak ada upaya untuk menggapainya. Kalau dipikir-pikir, membuat semua impian kita menjadi kenyataan memang bukan perkara yang mudah. Namun, jika saja kita mau bekerja sedikit lebih keras daripada orang lain.
                Misalnya, saya mempunyai keinginan setelah lulus SMA nanti saya akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi terkenal, sebut saja UGM. Saya dan Anda sama-sama tahu untuk menjadi salah satu mahasiswa di sana adalah hal yang teramat sulit karena terlalu banyak saingan. Kalau rata-rata setiap orang belajar selama dua jam sehari, maka saya harus belajar lebih dari dua jam. Bisa tiga jam, dua setengah jam ataupun dua jam lebih lima menit. Itu berarti saya sudah berusaha sedikit lebih keras daripada orang lain. Apakah Anda tertarik untuk mencoba?
Namun tentu saja, usaha tanpa diiringi doa juga akan sia-sia. Kita tidak boleh melupakan Allah. Dialah yang telah menciptakan kita di dunia ini sebagai salah satu makhluk-Nya yang sempurna. Kita harus mensyukuri itu. Apa jadinya kalau kita diciptakan-Nya sebagai seeokor sapi atau kucing?
Kita juga tidak boleh melupakan orangtua kita yang telah banyak berjasa dalam hidup kita. Mereka telah melaksanakan amanah-Nya dengan baik untuk merawat kita. Berkat merekalah kita menjadi diri kita sekarang. Apa jadinya kalau mereka tidak ada? Apa jadinya jika kita dirawat oleh seekor kera layaknya Tarzan? Mahabesar Allah telah memberikan kita sebagai amanah kepada kedua orangtua kita.
Orangtua kita memiliki kekuatan tersembunyi. Bukan kekuatan seperti Power Rangers atau Satria Baja Hitam. Bukan pula kekuatan seperti Sailormoon ataupun Powell Puffgirls. Mereka mempunyai kekuatan dalam do’a mereka. Mintalah restu kepada orangtua kita jika hendak melakukan apa-apa dengan mencium tangan mereka. Insyaalah, Allah akan mendengarkan doa orangtua kita.
“mana ada urang tuha yang handak anaknya kada behasil. Biar ikam kada meminta gin tetap mama doakan tarus, Nak ai.” Saya selalu tersentuh saat mendengar perkataan Ibu saya saat meminta dia mendoakan saya di setiap sholatnya. Setiap orang tua memang selalu menginginkan anak-anaknya berada dalam keberhasilan di dunia maupun akhirat. Keberhasilan kita dalam mencapai mimpi-mimpi kita tidak akan pernah lepas dari doa kedua orangtua kita.

Kehidupan itu tidak sekedar bangun tidur, mandi, gosok gigi, lalu tidur lagi. Live is an adventure. Kita hidup di dunia ini sebagai petualang. Sebagai pengembara. Sebagai the explorer. Tanpa adanya mimpi dalam hidup kita, kita tidak akan memiliki petualangan hidup yang sesungguhnya. Kehidupan kita akan hambar seperti sayur tanpa garam, tidak enak. Takut gagal? Kegagalan itu adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar itu tidak adanya mimpi dalam hidup kita. Hidup serasa datar dan membosankan.
Memang, tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Tidak semua impian serta harapan-harapan kita tercapai begitu saja. Kegagalan, kehancuran dan kejatuhan yang menyapa kita dirasakan begitu pahit dan menyakitkan. Tapi, dibalik itu semua akan muncul keindahan-keindahan yang menyenangkan. Kadang manusia tidak pernah menyadari kehidupan itu sempurna dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Saya pernah membaca sebuah buku yang menggambarkan kehidupan bagaikan sebuah bunga teratai. Keindahan bunga teratai itu hanya sebulan lalu luruh. Tapi ia meninggalkan benang sarinya untuk kemudian tumbuh menjadi bunga-bunga baru. Begitulah kehidupan, keindahan itu hanya sesaat. Ia hanyalah puncak dari kesabaran kita.
                Jangan pernah putus asa. Jangan pernah menyerah apalagi memilih mati hanya karena terjatuh sedikit. Sakit itu hanya sebentar lalu perlahan-lahan akan hilang. Kita hanya perlu berjuang dan bekerja sedikit lebih keras untuk menghilangkan rasa sakit itu. Perjuangan kita akan merubah zero menjadi hero, kurcaci mejadi raksasa, dan kodok menjadi pangeran tampan. “man jadda wa jadda”. Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil.