Sore Kelabu
“Gimana kalo kita jalan masing-masing?” satu kalimat ajaib itu berhasil
membuatku tak dapat mengeluarkan satu kata pun.
Awalnya aku mengira sore hari ini akan berjalan menyenangkan.
Berjalan-jalan di taman berdua bersama kekasihku, Abi. Fahri Urrahman atau
lebih biasa kupangggil Abi (itu adalah panggilan kesayanganku untuk Fahri)
adalah lelaki yang tampan dan cukup tinggi. Selain itu dia juga pintar dan
dewasa namun terkadang bisa berubah sangat manja. Sekarang dia sedang menjalani
kuliah di salah satu universitas swasta di kotaku. Kami menjalin hubungan hampir setengah tahun.
Sejak awal bertemu dengannya aku memang sudah tertarik dengan gaya
bicaranya yang khas dan jiwa kepemimpinannya yang tinggi. Fahri juga terlihat
alim dan baik di mataku. Pokoknya dia adalah calon suami yang sempurna untukku.
Oleh karena itu, saat dia menyatakan cintanya kepadaku aku tidak ragu sedikitpun
untuk menerimanya. Padahal waktu itu kami baru kenal selama kurang lebih satu
bulan, selain itu aku juga tidak memperdulikan perbedaan umur kami yang
berjarak empat tahun. Fahri juga tidak pernah mempermasalahkan sikapku yang
memang kadang-kadang sangat kekanakan. Maklum lah aku hanyalah seorang remaja
SMA kelas tiga yang baru menginjak umur
tujuh belas tahun.
Aku sangat menikmati hubunganku dengan Fahri, walaupun terkadang kami
jarang bertemu karena dia disibukkan dengan kuliah dan organisasinya dan aku
pun disibukkan dengan persiapan-persiapan untuk menghadapi ujian nasional.
Selain itu, aku juga menikmati saat-saat aku berdebat dengan Fahri. Berbeda
dengan orang yang pacaran biasanya, kami lebih sering berdebat daripada
mesra-mesraan. Namun perdebatan dan perbedaan itulah yang semakin membuatku
merasa tidak pernah ingin kehilangan Fahri.
Aku yakin Fahri itu serius kepadaku, dia sangat sering menyatakan
keinginannya untuk menikahiku. Aku juga
sangat ingin menikah dengannya, melahirkan anak-anak yang lucu, dan membangun keluarga
bahagia ala Rasulullah bersamanya. Aku sangat sering mengkhayalkan
adegan-adegan manis yang akan terjadi jika kami sudah menikah nanti. Seandainya
saja aku sudah lulus sekolah aku rela menikah muda dengannya sekarang. Tapi…
“Bagaimana Annisa? Apakah Annisa setuju?” Tanya Fahri kepadaku.
Sekarang kami berada di taman dan duduk di kursi taman yang sama persis
saat Fahri menyatakan cintanya padaku. Bahkan posisi duduk kami pun sama
persis. Aku tidak berani menatap wajah Fahri, aku hanya menunduk dan memandang kakiku.
“Abi tidak bermaksud menyakiti hati Annisa tapi Abi sadar kalau selama
ini Abi itu salah. Abi menganggap pacaran itu baik.” Fahri menghela nafas
sejenak lalu melanjutkan bicara.
“Tapi setelah Abi membaca sebuah buku, Abi sekarang sadar tentang
semuanya. Selama ini kita hanya mendengar pacaran itu dilarang namun tidak
dijelaskan alasan jelasnya kenapa pacaran itu dilarang. Di dalam buku itu
dijelaskannya semuanya.” Fahri menarik nafas yang terdengar berat.
Aku masih dalam posisi yang sama, diam dan menunduk. Sangat sulit
bagiku untuk menerima semua ini secara
tiba-tiba. Dadaku terasa sesak membuatku kesulitan untuk mengambil nafas.
Mataku berkunang-kunang, kepalaku pening. Ya Allah jadikanlah ini hanya sebuah
mimpi buruk. Amin.
“Bagaimana Annisa? Sekarang semuanya terserah Annisa. Insya Allah Abi
tidak terpengaruh wanita manapun untuk berkata seperti ini?” Fahri berkata
lembut sekali, ingin rasanya aku memeluknya dan memohon untuk tidak mengakhiri
hubungan kami namun tentu saja aku tidak mungkin melakukannya.
“Apakah Abii bahagia jika Annisa mengatakan iya?” tanyaku dengan suara
bergetar menahan tangis.
Sekarang aku memberanikan diriku untuk memandang wajahnya dan menatap
matanya. Fahri balas menatapku dengan tatapan yang lembut, tatapan yang sama
seperti biasanya, tatapan sayang. Fahri tersenyum dan berkata.
“ Ada sesuatu yang terdapat dalam diri manusia yang tidak dapat
dikendalikan. Akal dan pikiran masih bisa kita kendalikan Annisa, namun nafsu.”
Fahri berhenti dan menggeleng.
Aku memalingkan wajahku yang mulai panas. Aku bertekad tidak akan
terlihat lemah di hadapan Fahri. Aku tidak mau Fahri melihat aku menangis. Aku
pasti kuat yah aku pasti kuat.
“Abi takut kalau-kalau Abi tidak bisa mengendalikan nafsu Abi pada Annisa,
Abi tidak mau Annisa menjalin hubungan dengan orang yang salah seperti Abi. Abi
menyesal kenapa kemarin kita tidak ta’aruf saja.” Kata Fahri bijaksana.
Aku kembali menatap mata Fahri untuk mencari-cari keraguan disana. Namun tidak
ada keraguan sedikitpun, Fahri nampaknya sangat yakin untuk mengakhiri hubungan
kami. Baiklah aku sudah memutuskan.
“Baiklah Bi, lakukanlah apa yang menurut Abi baik. Annisa setuju kalau
memang Abi menginginkan semuanya berakhir. Lagipula kalau Annisa tetap memaksa
toh semuanya akan sia-sia kalau Abi udah tidak sayang dengan Annisa. Apalagi
nampaknya Abi juga tidak bahagia dengan Annisa.” Aku mengatakannya tanpa berani
memandang wajah Fahri.
Tidak kusadari, tanpa bisa kutahan lagi air mataku berjatuhan. Akhirnya
aku menangis. Aku benci terlihat lemah seperti ini, menangis karena cinta.
Tidak! Aku tidak boleh menangis. Buru-buru aku menghapus air mataku, tapi tetap
saja air mata itu tetap mengucur.
“Annisa bodoh kalau menangis demi orang seperti Abi.” Kata Fahri.
“Abi tidak sayang dengan Annisa, Abi tidak bahagia kan selama ini dengan Annisa?
Abi bosan kan dengan Annisa?” Aku mengeluarkan amarahku yang daritadi berusaha ku tahan disela
tangisanku.
“Itu Annisa yang mengatakannya bukan Abi. Coba Annisa jangan su’udzon
dengan Abi. Beberapa malam ini Abi udah melaksanakan sholat istikharah dan
inilah jalan terbaik dari Allah.”
“apakah mungkin hasil istikharah itu salah?”
“Abi tidak tahu. Wallahu’alam”
Aku berusaha keras untuk menahan air mataku. Refleks, aku
memukul-mukulkan tangan kananku sampai berdarah di kursi taman. Ini adalah
kebiasaanku dari kecil jika aku sedang marah dan sakit hati aku akan memukulkan tanganku kemana saja
sampai berdarah, berharap sakit yang ada di hati itu berpindah ke tanganku.
Namun tetap saja sakit hati itu masih ada tetapi ada kepuasaan tersendiri saat
aku memukulkan tanganku itu.
“Annisa jangan menyakiti tangan Annisa kaya gitu dong, Abi tidak suka
melihat Annisa mukulin tangannya kaya gitu.” Fahri berusaha menghentikan aksi
ekstrimku, aku pun menurut.
“Annisa mau janji kan tidak akan membenci Abi? Annisa juga mau janji kan
tidak akan sakit hati sama Abi?” Fahri berkata sambil tersenyum dengan manis.
Aku hanya mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa.
“Kita masih tetap sahabat kan?” Tanya Fahri .
Aku mengangguk lagi.
“Annisa percaya tidak dengan kata-kata “kalau orang jodoh pasti akan
bertemu lagi”?” Fahri bertanya lagi.
Kali ini aku menggeleng, takut untuk berharap dengan kata-kata itu.
“Kalau memang nantinya Annisa belum mendapatkan jodoh yang lebih baik
daripada Abi, saat itulah Abi akan datang untuk melamar Annisa.”
***
Sesampainya di rumah aku langsung memarkir motorku di garasi. Rasanya aku
mau langsung ke kamar dan tidur sampai esok pagi. Beruntungnya esok adalah hari
Minggu dan itu artinya aku bisa berdiam diri di rumah tanpa melakkukan apa-apa.
Yeah cukup membahagiakan.
“Assalamu’alaikum.” Aku mungucapkan salam sambil membuka pintu rumah yang
tidak dikunci. Aroma ayam goreng menusuk hidungku namun tidak seperti biasanya,
kali ini aku tidak tergoda untuk berlari ke dapur dan makan.
“Waalaikumussallam.” Jawab mama dari dapur. “Udah makan Nak?” Tanya mama
padaku masih dari dapur.
“Udah Ma.”Jawabku berbohong.
“Tadi kamu jalan sama Fahri?” Tanya mamaku lagi.
“Iya Ma, tadi Annisa jalan sama Fahri sekalian nyari makan. Makanya Annisa
kayaknya gak makan malam soalnya masih kenyang Ma. Nih pisang keju titipan mama
tadi, Annisa taruh di atas meja ruang tamu aja ya.” Kataku sambil berjalan menuju kamar.
Sayup-sayup di dalam kamar, aku mendengar mamaku menyuruh adikku yang
berumur 7 tahun untuk mandi. Aku melirik jam dinding doraemon yang ada di
kamarku. Tepat pukul lima sore, aku teringat aku belum melaksanakan sholat
ashar. Aku pun bergegas mengambil air wudhu dan melaksankan sholat.
Selepas sholat Ashar aku tidak langsung beranjak seperti biasanya,
melainkan aku tetap memakai mukenaku dan menangis di hadapan Allah. Aku protes
kepada Allah, mengapa Allah begitu jahat kepadaku. Mengapa Allah membiarkan
hubungan Fahri dan aku berakhir seperti ini. Aku protes dan terus protes hingga
akhirnya magrib dan aku pun kembali melaksanakan sholat. Sama seperti tadi aku
pun terus protes dan menangis serta memukul-mukulkan tanganku ke lantai selepas
sholat magrib sampai berkumandangnya adzan isya dan aku kembali sholat dan
menangis sesudahnya.
Malam itu berjalan sangat lambat menurutku, beberapa kali aku mendengar
ketukan Mama di pintu menyuruhku keluar namun aku tidak menggubrisnya. Aku
terus menangis dan menangis hingga rasanya tidak ada air mata yang aku
keluarkan. Tanganku juga semakin terasa sakit sekarang karena aku terus
memukulkannya ke lantai. Bukan hanya tangan kananku yang aku korbankan
melainkan tangan kiriku pun juga ikut andil dalam aksi pukul-memukul lantai.
Berjam-jam telah berlalu. Karena kelelahan, aku pun tertidur di atas
sajadahku dengan masih mengenakan mukena. Saat tertidur itulah aku bermimpi
bertemu seorang kakek yang tidak aku kenal. Dia berkata aku tidak berhak untuk
menyalahkan Allah atas semua yang telah terjadi padaku. Aku hanyalah seorang
manusia biasa yang tidak berhak protes kepada Allah, kepada Mahadzat yang
paling agung. Allah lah yang telah mencipatakan kita. Dia itu sang
Mahamengetahui di dunia ini. sesuatu yang menurutku kita benar belum tentu baik
menurut Allah untuk kita. Kakek itu terus saja berbicara tentang kebesaran
Allah dihadapanku. Mendengar penuturan kakek itu aku pun merasa kecil dan
berdosa, aku kembali menangis. Kakek itu mendekat dan berkata “ percaya lah
kepada Allah Nak, Insya Allah kamu akan bahagia.” Kakek itu tersenyum dan
menghilang.
“Kakek!!!” aku terbangun dari tidurku bertepatan dengan dikumandangkannya
adzan shubuh.
Aku segera bangun dan keluar kamar untuk mengambil wudhu namun aku
urungkan karena masih ada Mama di dapur. Aku tidak bisa keluar dengan keadaan
seperti ini, mata merah dan bengkak, tanganku pun kini juga ikut-ikutan
bengkak. Orang rumah bisa heboh kalau tahu keadaanku sekarang. Aku belum siap
untuk menjelaskannya sekarang, bahkan rencananya aku juga tidak akan bercerita
dengan teman-temanku. Aku tidak mau menangis di hadapan mereka. Aku tidak mau
terlihat lemah.
Aku menempelkan telingaku di pintu kamar.. Terdengar suara langkah kaki
mama berjalan melewati kamarku. Itu artinya mama sedang berjalan menuju
kamarnya. Aku membuka pintu kamarku pelan sekali agar tidak menimbulkan suara.
Setelah tengok sana sini aku akhirnya memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan
pelan-pelan sekali menuju kamar mandi.
Aku langsung membasuh mukaku dan menggosok gigiku sesampainya di kamar
mandi. Tangaku terasa sakit saat memegang gayung dan itu sangat menyiksaku.
Cukup lima belas menit untukku menyiapkan diri untuk menghadap Allah. Sekarang
aku sudah berada di kamarku dengan memakai mukena. Sekarang saatnya sholat.
“Ya Allah Ya Tuhanku yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Hamba hanyalah
seorang manusia biasa yang kecil di hadapanMu Ya Allah. Hamba sadar hamba
bersalah, hamba terlalu banyak protes kepadaMu Ya Rabb. Maafkanlah hambaMu yang
berlimang dosa ini. Jadikanlah hamba sebagai salah satu orang yang beruntung
untuk mendapatkan rahmatMu Ya Ilahi.” Aku berdoa dan terus berdoa selepas
sholat, berharap Allah SWT mau memaafkanku atas kekhilafanku.
***
“Annisa, kamu tidak makan sayang?” Tanya Mama di depan pintu kamarku yang
terkunci.
“Em, Annisa udah makan Ma tadi malam, jadi ini masih kenyang.” Kataku
berbohong.
Ya Rabb maafkanlah hamba atas kebohongan ini, doaku dalam hati,
“Kapan sayang? Kok Mama gak liat?” Tanya Mama lagi.
“A, Em, itu Ma, Annisa makannya pas tengah malam, pas semua orang udah
pada tidur.” Aku kembali berbohong.
Ternyata benar, satu kebohongan yang kita buat akan membawa kita pada
kebohongan-kebohongan yang lain.
“Ya sudah, Mama sama Abah mau ke kawninan dulu ya. Adik kamu juga ikut.
Kamu jaga rumah ya.” Kata Mama sambil berlalu.
“Iya.” Kataku lega, dengan begitu aku tidak usah lagi kucing-kucingan
dengan orang rumah.
Kebiasaan Mama itu kalo pergi kekawinan pasti pulanngnya sore. Kekawinannya
sih sebentar aja, tapi pulang dari kawinan itu mampir-mapir dulu. Mampir ke
rumah nenek, ke rumah tante, mampir ke pasar, ke warung bakso, pokoknya hampir
semua tempat didatengin.
Setelah yakin orang rumah udah pergi, aku keluar kamar dan menuju dapur.
Aku membuka kulkas untuk mencari timun. Menurut majalah yang aku baca, katanya
timun itu bisa mengurangi mata bengkak sehabis nangis. Aku pun memotong timun
dua iris dan melatakkannya di atas mataku. Brr dingin, tapi segar. Hasilnya
lumayanlah, bengkaknya berkurang sedikit.
Seharian itu kerjaan ku hanyalah berbaring di atas tempat tidur sambil
sesekali menangis. Jujur, aku masih belum ikhlas untuk melepaskan Fahri. Aneh,
perutku tidak terasa lapar sama sekali, padahal aku sudah tidak makan sejak
kemarin siang. Itu berarti aku udah satu hari penuh tidak makan. Ternyata sakit
hati bisa dijadikan cara diet yang cepat.
Aku hampir terjatuh dari tempat tidurku mendengar nada panggilan khusus
untuk Fahri di handphoneku. Aku meraih handphoneku yang ada berada di atas meja
belajar. Aku membaca layarnya dan di sana terpampang jelas tulisan “Abie Sayang
calling…”. Rupanya aku masih belum mengganti nama Abi Sayang di kontakku. Tapi
aku tidak akan menggantinya, karena sampai kapanpun Fahri tetaplah menjadi Abie
sayang di hatiku. Aku akan menunggu saat di mana Fahri akan datang melamarku.
Aku pun menekan tombol receive.
“Halo. Assalamualaikum Bi.”
“Waalaikumussallam, Annisa lagi apa?”
“lagi rebahan aja.”
“Annisa udah makan?”
“Kenyang.”
“Makan apa?”
“Makan hati, hehe bercanda Bi. Annisa makan lontong.”
“Maaf.”
“Permintaan maaf diterima.”
“Semangat sayang.”
“Tolong Bi jangan berkata seperti itu, maksud Abi apa? Jujur, Annisa
belum kuat. Assalamualaikum.”
Tanpa menunggu jawaban salam dari Fahri aku memutuskan hubungan telepon.
Maksud Fahri itu apa sih? Tuh kan aku nangis lagi gara-gara mendengar Fahri
bilang sayang. Perasaanku menjadi sangat sensitif kalau lagi sakit hati seperti
ini. Aku pun memilih untuk keluar kamar dan menonton acara televisi untuk
melupakan masalahku sejenak.
***
Hari yang paling ku benci pun tiba, hari Senin. Dari dulu aku sangat
membenci hari Senin. Pada hari Senin kita harus mulai kembali bersekolah, pada
hari Senin kita harus upacara bendera, dan masih banyak lagi hal-hal yang
terpaksa kita lakukan di hari Senin. Aku termasuk orang yang juga membenci upacara
bendera. Aku benci saat aku harus berdiri diam tanpa boleh bergerak sedikitpun.
Ditambah suasana yang panas juga membuatku semakin benci dengan upacara bendera.
Berbeda dengan Fahri, dia malah sangat mencintai upacara bendera. Dia
berkata dengan upacara kita lebih bisa menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan
kita. Kami sering berdebat tentang upacara. Aku berkata jika upacara itu
membosankan maka Fahri akan membalas perkataanku dengan mengatakan upacara itu
menyenangkan apalagi kalau kita bisa lebih menghayatinya. Fahri sering berkata,
“Coba bayangkan betapa sulitnya dulu pahlawan kita untuk mengibarkan bendera di
tanah air kita. Kamu harus bisa lebih menghargainya istriku tercinta.” Dan aku
akan menjawab, “Baiklah suamiku tersayang.”. Romantis kan? Aku hampir kembali
menagis saat mengingat semua itu.
Aku mematut diriku di cermin sejenak. Tanpa berniat untuk berdandan
berlebihan, aku mengambil bedak dan memoleskan sedikit ke pipiku yang agak
sedikit tembem. Aku lalu memakai kerudungku dan semuanya beres sekarang. Aku
berusaha tersenyum di depan cermin, namun senyum itu terlihat sekali sangat
dipaksakan. Aku berharap hari ini aku bisa berakting bahagia di sekolah. Aku
masih tidak ingin satu orang pun tau tentang hatiku yang remuk.
“Mama, Abah. Annisa berangkat dulu ya. Cepet-cepet nih udah telat jadi
gak bisa sarapan.hehehe” Kataku pada Mama dan Abahku yang sedang asyik nonton
acara Islam Itu Indah.
“Kamu itu kebiasaan Nisa.” Kataku abahku datar. Mungkin beliau sudah
terbiasa dengan kelakuanku yang emang susah untuk tidak tidur sesudah sholat
shubuh, walhasil udah bisa dipastikan aku sangat sering terlambat pergi ke
sekolah. Berbanding terbalik dengan adikku, Amin yang sangat rajin bangun pagi.
Tanpa melakukan ritual cium tangan orang tua terlebih dahulu seperti
biasanya, aku langsung ngeloyor keluar rumah. Aku memang sengaja tidak mencium
tangan orang tuaku hari ini, karena aku tidak mau mereka melihat keadaan
tanganku. Aku sendiri saja ngeri melihat jariku yang membengkak itu, makanya
aku membalut jari tanganku dengan perban agar bengkak tidak terlihat begitu
saja.
“Loh loh Annisa, kok nggak salim?” Tanya Mamaku nyaring dari depan pintu.
Saat itu aku sudah siap memacu motorku. Aku pura-pura tidak mendengar dan hanya
berdadah ria di atas motorku yang berjalan.
“Woi, Bro! Tumben lu ke sekolah saat begini.?” Tanya Rifqi kepadaku saat
aku tiba di parkiran sekolah. Rifqi memang terbiasa memanggilku Bro begitu juga
denganku.
“Semales itukah gue Bro, sampe-sampe lu heran liat tampang gue di
sekolah.” Jawabku dengan gaya ceriaku yang biasa.
Sekolahku memang mengadakan ulangan semester lebih cepat satu minggu
daripada sekolah-sekolah lain. Sabtu kemarin adalah hari terakhir ulangan, dan
sekarang tugas para murid hanya menunggu pengumuman nilai di mading sekolah.Dan
biasanya kesempatan ini aku gunakan untuk menghilang dari peredaran di sekolah,
apalagi yang nikmat kalau bukan tidur di rumah seharian. Tapi anehnya hari ini
aku memilih untuk ke sekolah daripada tidur, karena sekarang rasanya lebih baik
jika aku berada dalam keramain.
“Bro! Lu mau diem di sini aja terus digodain Askani?” Rifqi megagetkanku
yang ternnyata dari tadi melamun.
“Ah eh apa? Askani? Mana-mana?” Aku celingak-celinguk gugup. Askani
adalah salah satu dari tiga satpam di sekolahku. Dia adalah satpam termuda di
sekolahku namun agak centil. Tak jarang dia menggoda-goda sisiwi sekolahku
termasuk aku.
“Udah ah, malah nyariin dia. Mendingan temenin gue ke kantin. Laper nih
Bro.” Rifqi menarikku ke kantin tanpa ba-bi-bu lagi. Aku pun nurut dengan salah
satu teman baikku di sekolah itu.
“Eh, tangan lu kenapa Bro?” Tanya Rifqi dengan nada khawatir. Dia
menghentikan tarikannya dan menatapku penasaran.
“Gak papa, digigit adik gue. Udah ah ayu ke kantin.” Sekarang gantian aku
yang menarik tangan Rifqi.
“Buset, adik lu sadis amat Bro.”
Rifqi makan lahap sekali di
hadapanku. Dia memesan nasi goreng dan beberapa sosis ayam serta es teh sebagai
minumnya. Sebenarnya Rifqi udah nawarin mau mentraktirku, namun untuk pertama
kalinya dalam hidupku aku menolaknya. Rada nggak percaya juga sih tuh anak
dengan penolakanku. Seorang Annisa menolak untuk dtraktir, seorang Annisa yang
tukang palak menolak untuk ditraktir. Ini memang sangat mengejutkan.
“Kenyang gue. Nggak nyesel lu
nolak traktiran gue?” Goda Rifqi sambil menggoyang-goyangkan sesendok terakhir
nasi gorengnya. Aku menggeleng mantap.
“Aneh lu Bro! Oh Ya Bro, apa kabar si kuliahan?” Tanya Rifqi santai
sambil menyuap satu sendok terakhirnya nan berharga itu.
Aku seperti tersengat listrik mendengar pertanyaan Rifqi. Si kuliahan
adalah sebutan Rifqi untuk Fahri. Lama aku terdiam untuk menjawab pertanyaan
Rifqi, aku bingung mau menjawab apa. Aku belum siap untuk bercerita dengan
siapapun. Aku masih hendak menyimpan semua ini selama aku bisa. Aku sadar ini
bukanlah aku yang biasanya selalu terbuka dengan orang terdekatku.
“Baik-baik aja kok.” Jawabku dengan keyakinan itu tidak bohong. Aku memang
tidak sedang berbohong. Fahri memang sedang baik-baik aja. Yang tidak baik itu
hubungan kami. Dan Rifqi bertanya tentang Fahri bukan tentang hubungan kami.
Yah, aku tidak berbohong.
“Bro, gue cabut dulu ya. Dah…” Kataku langsung berjalan meninggalkan Rifqi
yang bengong.
Aku memutuskan untuk pergi daripada aku harus menambah
kebohongan-kebohongan lain untuk menjawab pertanyaan Rifqi tentang Fahri
nantinya. Aku pun memutuskan untuk mengunjungi Perpustakaan Kota yang ada di
kotaku. Sudah sejak kelas satu SMA aku menjadi pengunjung tetap di sana.
***
Aku memarkir motorku di bawah pohon mangga depan Perpustakaan Kota. Sejak
kecil aku mempunyai hobi yang tidak pernah berubah, yaitu membaca. Hampir
setiap hari aku ke sini baik untuk membaca, meminjam, ataupun mengembalikan
buku. Karena frekuensi kedatanganku yang sering itu, menyebabkan aku sedikit
akrab dengan para petugas di perpustakaan ini.
Aku melangkah menuju pintu masuk, di sana sudah ada Kak Udi yang menunggu
sambil tersenyum-senyum jail. Ka Udi adalah salah satu petugas perpustakaan.
Dari sekian banyak petugas di sini, Ka Udi lah yang paling akrab dernganku.
Usianya sekitar 22 tahun, bertubuh tinggi dan tampan. Jujur aku sempat kesemsem
sama dia. Hehehe
“Kata sandi.” Kata Ka Udi serius di tengah-tengah pintu masuk yang memang
tidak terlalu besar itu.
“Kuntilanak buku.” Kataku sama seriusnya.
“Kata sandi diterima.” Katanya terseyum sambil membukakan pintu untukku.
Itu memang kebiasaan Ka Udi setiap aku datang. Dia selalu tahu saat kapan
aku datang dan menungguku di depan pintu sambil menayakan kata sandi seperti tadi.
Awalnya jawaban kata sandiku selalu berubah-ubah, namun entah sejak kapan tanpa
aku sadari aku selalu mejawab “kuntilanak buku.” Dan jadilah Ka Udi memanggilku
sang kuntilanak buku modern di perpustakaan ini.
“Jam 9 pagi. Bolos Kun?” Tanya Ka Udi sambil melihat jam tangannya. Dia
berusaha menjajari langkahku yang gontai. Kami berjalan bersisian menuju tempat
duduk favoritku, kursi di pojok perpustakaan itu.
“Saya tidak senakal itu. Oke?” Kataku dengan gaya formal yang
dibuat-buat.
“Ya udah, aku ke sana dulu ya Kun. Kamu sih kepagian datengnya, lagi jam
sibuk nih.” Ka Udi berkata sambil memegang bagian atas kepalaku. Aku yakin jika
saja aku tidak memakai kerudung saat ini, rambutku akan diacak-acak olehnya.
Aku duduk sendirian di kursi favoritku itu memandangi punggung Ka Udi
yang semakin mendekat ke meja pelayanan. Jam segini memang jam sibuk di
perpustakaan ini karena kebanyakan para mahasiswa menyempatkan untuk
mengerjakan tugas atau sekedar ngeceng di sini sebelum ke kampus. Jarak
perpustakaan kota ini memang cukup dekat dengan Universitas Lambung Mangkurat
salah satu universitas negeri favorit di kotaku.
Aku berjalan menuju rak terdekat untuk mengambil satu buku secara acak
lalu kembali duduk di kursiku semula. Aku membuka halaman demi halaman dari
buku itu, namun aku tidak benar-benar membacanya. Kata dan kalimat yang ada di
buku itu tidak sempat menempel di otakku sedikitpun mereka hanya lalu dan
menghilang. Mungkin jasmaniku sekarang terlihat sehat dan sedang membaca buku,
namun rohaniku sekarang sedang sakit dan kacau.
“AAAA” Aku memekik tertahan. Aku dikejutkan oleh sapasang tangan yang
kokoh menutup mataku.
Pelan-pelan sepasang tangan itu menjauh dari mataku. Aku pun kini sudah
bisa melihat lagi walau masih agak kabur. Itu adalah reaksi dimana mata kita
membiasakan dari tempat yang tadinya gelap menjadi tiba-tiba terang.
“BAAAA.” Kata seorang laki-laki tepat di wajahku.
“Ka Adry. Kemana aja lu? Lama nggak kelihatan?” Tanyaku sumringah.
“Gue ada kok..” Kata Ka Adry semangat sambil mencubit-cubit pipiku.
“Eit..eit..eit..tangan lu ya lepasin ya tolong ya. Jangan cubit-cubit
sembarangan gitu dong. Bukan muhrim tau. Dasar lu.!” Kataku sambil melepaskan
cubitan Ka Adry dari pipiku. Aku pun memonyongkan bibirku pertanda aku
pura-pura merajuk.
Ka Adry adalah temanku sejak dua tahun lalu.Bukan hanya teman namun dia
adalah salah satu sahabat terbaikku. Namun sejak dia lulus SMA dan melanjutkan
kuliah di Universitas Lambung Mangkurat kami jarang bertemu. Dia sibuk dengan
kehidupannya begitu juga aku. Sudah hampir dua bulan ini aku tidak melihat
batang hidugnya. Kangen juga.
Nama lengkapnya Adry Nugroho. Walaupun kami berbeda agama, persahabatan
kami tetap berjalan baik hingga sekarang. Ka Adry beragama Katolik. Dulunya dia
adalah kakak kelasku di SMA. Kami menjadi akrab saat aku tidak sengaja hampir
menabraknya di parkiran sekolah saat hari pertama masuk sekolah. Yah, aku
memang udah sangat terlambat waktu itu untuk masuk kelas. Maka dari itu aku
khilaf mengendarai motorku lumayan cepat di area parkiran sekolah yang lumayan
sempit itu. Tau-taunya dia nongol entah darimana dan tertabraklah dia. Akhirnya
aku tidak jadi masuk kelas sama sekali karena aku harus bermasalah dengan guru
BP. Dari sanalah hubungan kami semakin dekat hingga sekarang.
“iya deh tau yang lagi pacaran sama Pak Ustad.” Ka Adry kembali mencubit
pipiku.
Aku sempat terenyak dengan perkataan Ka Adry. Kenapa semua orang membahas
dia sih? Tanyaku dalam hati. Aku pun semakin getol melepaskan cubitan Ka Adry
di pipiku. Ka Adry melepaskan cubitannya dan melihat tajam ke arah jari-jariku
yang di perban. Dia telah mengenalku selama dua tahun, dan tidak bisa
dipungkiri kalau dia tahu banyak tentang diriku.
“Gue nggak papa kok.” Aku berkata tanpa menunggu ditanya. Aku menarik
tanganku dari tangannya dan langsung beranjak pergi menuju pintu keluar.
“Annisa.” Fahri yang berada di pintu masuk perpustakaan memanggil namaku hampir
bersamaan dengan Ka Adry yang ternyata mengejarku.
“Abi.” Kataku terkejut sambil menyembunyikan tanganku ke belakang.
Terlambat. Tenyata abi sudah melihatnya.
Tanpa berpikir panjang aku berlari dan terus berlari tanpa menghiraukan
panggilan dari Fahri dan Ka Adry atau mungkin juga ditambah dengan panggilan Ka
Udi. Aku tidak peduli. Yang aku inginkan sekarang adalah cepat-cepat tiba di
motorku dan pergi dari sini. Sekarang.
***
Aku duduk di kursi taman sendirian.Tidak seperi di pagi hari yang ramai,
taman ini sepi di sore hari. Taman ini memang sudah sejak lama menjadi tempat
pelarianku dikala sedang lelah menghadapi dunia seperti sekarang ini. Aku
memejamkan mataku sembari memutar kenangan-kenangan indah yang tidak akan
pernah kulupakan. Ya semuanya berawal dari di taman ini. Dan dengan tragis juga
semuanya berakhir di sini.
Di taman inilah aku bertemu dengan Fahri untuk pertama kali. Setiap
paginya taman ini memang ramai di datangi orang-orang untuk lari pagi tak
terkecuali aku. Hampir setiap minggu aku ke sini untuk lari pagi dan saat itu
lah kami bertemu. Entah mengapa waktu itu kami berdua langsung akrab dan
pembicaraan kami pun nyambung. Kami berbincang-bincang di taman itu sangat
lama.
Sepulangnya dari sana aku sadar aku telah jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada Fahri. Namun betapa bodohnya aku saat menyadari aku tidak
mempunyai apapun untuk menghubunginya lagi. Aku malu untuk sekedar meminta
nomor telepon ataupun alamat facebook dan sejenisnya kepada Fahri. Sebagai
perempuan aku mempertahankan gengsiku untuk tidak menanyakan hal-hal seperti
itu. Aku hanya bisa menunggu berharap Fahrilah yang terlebih dahulu
mempertanyakan nomor handphone atau facebook, twitter, blog, apapun itu
kepadaku. Namun sampai pembicaraan kami berakhir pengharapanku sia-sia.
Setiap malam aku hanya bisa berdoa agar Allah mau menghilangkan perasaanku
kepada Fahri yang tidak seharusnya aku rasakan ini. Tapi, keajaiban itu
tiba-tiba datang. Aku kembali dipertemukan kembali dengan Fahri. Kami kembali
bertemu di suatu acara di kampus Ka Adry. Saat itu aku diminta Ka Adry untuk
menemaninya datang ke acara itu. Dan saat itu pula aku yakin Fahri adalah
jodohku.
Satu persatu Ka Adry memperkenalkan teman-temannya kepadaku. Dan saat
itulah aku melihatnya sedang berbicara dengan temannya di sudut ruangan. Mata
kami pun bertemu dan kami pun saling tersenyum. Kami pun berbicara sebentar,
dan aku memperkenalkan Fahri dengan Ka Adry. Tidak sampai situ saja, Fahri yang
ternyata salah satu undangan di acara itu mengajak aku dan Ka Adry makan siang
bersama setelah selesai acara. Aku dan Ka Adry pun setuju dengan ajakan itu.
Sejak itulah aku lebih akrab dengan Fahri.
Berhubung kami sudah saling bertukar nomor handphone sejak saat itu,
tidak jarang kami smsan sampai tengah malam. Fahri juga semakin sering
mengajakku makan siang bersama sepulang aku sekolah. Setiap hari Minggu kami
selalu menyempatkan diri untuk jogging bersama di taman tempat kami pertama
bertemu. Satu bulan kemudian Fahri menyatakan cintanya kepadaku.
Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari itu Sabtu, tanggal 4
Agustus 2012 yang bertepatan dengan tanggal 15 Ramadhan. Tradisi sekolahku
adalah meliburkan siswa-siswanya saat di bulan Ramadhan. Itu aku gunakan untuk
lebih sering bertemu dengan Fahri. Setiap pagi di bulan Ramadhan itu kami
habiskan sambil berlari-lari kecil mengitari taman itu.
Tapi hari itu sedikit berbeda menurutku, Fahri mengajakku duduk di salah
satu kursi taman yang kosong. Aku pun menurut. Tidak lama setelah kami duduk, Fahri
pun langsung menyatakan bahwa selama ini dia menyimpan rasa kepadaku. Dia
menyayangiku dan mencintaiku segenap jiwanya. Tentu saja, aku
terbengong-bengong dengan apa yang dikatakan Fahri. Aku takjub tak percaya.
Aku masih bengong saat Fahri menyuruhku menutup mata. Dengan perasaan
yang amat sangat gugup aku menutup mataku. Aku merasakan Fahri beranjak dari
tempat duduknya saat aku menutup mata. Tidak lama dia kembali dan menyuruhku
untuk membuka mata. Sekarang di tangan Fahri sudah ada dua buah bunga melati
putih. Jantungku semakin berdetak kencang menunggu apa yang ingin Fahri katakan
padaku.
“Annisa, ditangan Kakak sekarang ada dua buah bunga melati berwarna
putih. Kalau Annisa mau menerima cinta Kakak, Annisa ambil kedua bunga ini dan
berikan satu kepada Kakak. Tapi kalau Annisa menolak cinta Kakak, Annisa ambil
kedua bunga ini dan lemparkan keduanya ke wajah Kakak.” Kata Fahri mantap. Saat
itu aku masih memanggilnya dengan sebutan Kakak.
“Sekarang giliran Kakak yang tutup mata. Ayo tutup mata!” perintahku
kepada Fahri sambil tersenyum.
Fahri menurut dan menutup matanya. Gugup, aku mengambil kedua bunga
melati di tangan Fahri Cukup lama aku menimbang-nimbang apa yang akan aku
lakukan. Saking lamanya Fahri sudah beberapa kali mengintip dengan membuka
sebelah matanya sedikit. Bukan, bukannya aku ragu untuk menerima cinta Fahri.
Aku Cuma bingung apa yang harus aku lakukan agar hal ini lebih terkesan
romantis. Akhirnya aku memutuskan untuk memasangkan salah satu bunga melati itu
di telinga Fahri. Fahri membuka matanya dan tersenyum lebar.
Aku terbangun dari lamunanku yang indah karena tiba-tiba aku mengendus
bau makanan kesukaanku, pempek. Aku pun membuka mataku. Aku terkejut melihat tempat bekal
kesayanganku yang seharusnya berada di rumah sekarang berada tepat di depan
mataku.
“Ka Adry.” Kataku heran melihat sosok sahabatku yang tiba-tiba ada di
depanku ini.
“Kenapa lu jadi kabur gitu sih, Neng?” Tanya Ka Adry sambil duduk di
sebelahku.
“Ini gue bawain makanan kesukaan lu.” Katanya lagi sambil memberikan
tempat bekalku kepadaku.
“Kok tempat bekal gue ada di tangan lu sih? Nyolong dari dapur gue lu
ya?” Tanyaku dengan nada bercanda.
“Gue itu nyariin lu ke rumah. Gue kira lu tadi langsung pulang. Eh taunya
kata nyokab lu elunya kaga ada. Ya udah gue bilang aja minjem tempat bekal kesayangan
lu ini, gue tau kalo elu lagi stress biasanya kan lapar mulu kerjaannya.” Jelas
Adry panjang lebar.
“Kok lu bisa tau gue di sini sih?” Tanyaku sambil memakan pempek yang
masih hangat. Enak.
“Halooo Neng Yuriannisa, gue itu udah kenal sama lu berapa tahun sih? Gue
itu tau banyak tentang lu. Ini gue bawain ini juga buat lu, itung-itung buat
persediaan di rumah. Lu pasti membutuhkan amunisi untuk menghadapi stress lu.”
Kata Adry sambil mengeluarkan satu kotak choki-choki, satu kotak beng-beng.
Satu renteng Better, dan dua bungkus keripik singkong yang menggiurkan.
Aku tersenyum membayangkan Ka Adry itu Doraemon yang sedang mengelurkan
barang-barang dari kantong ajaibnya. Di sela senyumanku aku terus makan dengan
lahap pempekku yang sangat enak ini. Aku baru menyadari ternyata perutku sangat
lapar sekarang. Mungkin benar kata Ka Adry, aku membutuhkan amunisi untuk
mengahadapi kegalauan yang aku rasakan sekarang.
“Lu nggak kuliah?” Tanyaku pada Ka Adry yang terus saja memandangiku
dengan tatapan aneh.
“Lu sih pake acara kabur segala. Gue khawatir tau.” Jawab Ka Adry masih
memandangiku.
“Lu pasti udah tau semuanya dari Ab..Fahri..” Kataku sambil memalingkan
wajahku dari pandangannya.
“Gue nggak perlu ngomong sama laki-laki brengsek kaya dia untuk tau alasan kenapa lu kaya gini. Lu
putus kan sama dia?”
“Ab..Fahri itu nggak brengsek Kak. Jangan pernah menghina Ab..Fahri di
depan gue.”
“Ternyata hati lu masih tertutup untuk mengetahui siapa orang yang
benar-benar mencintai lu, Annisa.” Kata Ka Adry sambil beranjak pergi
meninggalkanku kembali sendiri.
“Maksud lu apa sih Ka? Gue nggak ngerti.” Kataku sambil mengejar Ka Adry.
Tidak lupa amunisi pemberian Ka Adry sudah aku masukan ke dalam tasku.
“Ka, tunggu dong. Kok lu ngomong gitu sih? Lu marah sama gue?” Aku masih
berusaha menjajari langkah Ka Adry yang cepat.
“Ka, stop dong! Lu kenapa sih?” Aku mencegat Ka Adry dengan merentangkan
kedua tanganku di depannya.
Tanpa kuduga, Ka Adry tiba-tiba memelukku. Aku kaget setengah mati, namun
setelah cukup sadar dengan apa yang terjadi aku pun brontak. Sekuat tenaga aku
berusaha melepaskan pelukan Ka Adry. Namun usahaku sia-sia, semakin aku brontak
semakin erat Ka Adry memelukku.
“Ka, lu kenapa sih? Lepasin gue! SEKARANG!” kataku marah.
“Astaga, apa yang gue lakuin? Gue minta maaf Annisa.” Kata Ka Adry dengan
nada menyesal.
Aku mendorongnya menjauh dariku. Dengan perasaan yang marah aku pun
meninggalkannya. Sembarangan banget sih meluk-meluk orang. Emangnya dia pikir
aku ini cewek murahan yang bisa dipeluk-peluk kaya gitu. Dasar mesum. Mesum.
Mesum.
“Annisa, tunggu.” Ka Adry menarik lengan kananku.
“Apa-apaan sih. Lepasin gak? Lepasin! Lepasin! Dasar mesum! lepasin!
Lepasin!” aku berteriak-teriak heboh.
“Oke gue lepasin. Tapi lu harus janji mau dengerin omongan gue.” Kata Ka Adry
frustasi.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Aku minta maaf Annisa udah sembarangan meluk kamu kaya tadi. Aku beneran
nggak sadar dengan apa yang aku lakukan.” Kata Ka Adry dengan nada canggung.
Mungkin dia agak sedikit canggung ber-aku-kamu denganku.
Aku masih diam, tidak tau harus berkata apa. Mungkin dalam agama Ka Adry,
apa yang dilakukannya tadi adalah hal yang wajar. Tapi apakah dia lupa kalau
aku ini seorang muslimah? Agamaku tidak memperbolehkan laki-laki dan wanita
yang bukan muhrim saling berpelukan. Tidak bisakah dia menghargai kepercayaanku
terhadap agamaku?
“Annisa.” Panggil Ka Adry sambil berlutut di hadapanku.
Aku mengerutkan keningku, kebingungan. Apa sebegitu menyesalnya Ka Adry
sampai bersujud seperti ini untuk meminta maafku? Maafin gak ya?
“Aku cinta sama kamu. Aku tidak tahu kapan pastinya perasaanku ini muncul,
yang pasti hatiku sakit sekali saat mengetahui hubungan kamu dengan hhh, si Fahri
itu.” Ka Adry menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Tapi ternyata hatiku lebih sakit lagi saat mengetahui begitu tersiksanya
kamu saat hubungan kalian berakhir. Jangan potong pembicaraan saya Yuriannisa.”
Ka Adry mengacungkan telunjuknya di wajahku saat aku ingin membuka mulut.
“Gue tau lu nggak bakal nerima gue sekarang. Selain mungkin karena gue
agak sedikit berandalan tidak seperti hhh, si Fahri itu. Lagipula mungkin
prinsip kita masih berbeda. Aku masih percaya dengan agamaku begitu juga dengan
dirimu. Tolonglah dengarkan saya bicara dulu saudara Yuriannnisa yang manis.”
Ka Adry gemas melihatku kembali ingin membuka mulut. Habisnya aku tidak terlalu
tahan berdiam diri seperti ini. Lagipula adegan ini sangat lucu kalau saja
cewek yang di depan Ka Adry sekarang bukan aku.
“Aku janji akan berubah menjadi lebih baik. Aku janji akan berusaha
mengenal agama islam. Bahkan aku rela meninggalkan agamaku yang sekarang demi
menikahimu. Aku akan langsung melamarmu Yuriannisa” Ka Adry berkata serius. Dia
masih berlutut di hadapanku.
“Jangan! Kalau lu.. eh kamu memeluk islam demi menikahiku gu..eh aku tidak
akan pernah menerima lamaranmu saudara Adry Nugroho. Karena itu berarti kamu
ingin mengenal Allah bukan dari hatimu. Peluk lah islam demi Allah, jangan demi
aku. aku bukan siapa-siapa.” Kataku sambil tersenyum tulus.
Ka Adry terdiam mendengar kata-kataku. Dia seperti berpikir keras. Aku
pun menyuruhnya untuk berdiri dan mengajaknya pulang ke rumahku. Ibuku pasti
sangat merindukan Ka Adry karena sekarang dia sangat jarang berkunjung ke rumah
tidak seperti dulu yang hampir setiap hari.
Tanpa kusadari, ada sepasang mata yang dari tadi mengamati adegan demi
adeganku bersama Ka Adry dari kejauhan. Fahri tersenyum simpul. Entah apa yang
dia pikirkan. Fahri pergi dari taman itu setelah yakin aku dan Ka Adry sudah
cukup jauh untuk melihat tempat persembunyiannya selama ini.[]